Ada kemiripan antara penggunaan antibiotik dan
alokasi anggaran di pemerintah. Jika telah direncanakan untuk diberikan,
sebaiknya digunakan sampai habis. Meski sebenarnya ada sisi lain yang mungkin
agak terlupakan, yakni bahwa sebaiknya tidak digunakan jika tidak diperlukan.
Sebagai salah satu unit utama di Kementerian
Kesehatan, pelaku pengadaan di Direktorat Jenderal Kefarmasian dan Alat
Kesehatan tidak hanya melaksanakan pengadaan obat-obatan, namun juga pengadaan
non obat. Mulai dari pengadaan yang biasa dilakukan di unit utama lain seperti
pencetakan, kendaraan, sistem aplikasi, juga renovasi ruangan (pada periode
tertentu), hingga pengadaan yang relatif khusus seperti pameran kesehatan,
konsultan, laboratorium mikrobiologi, P4TO (Pusat Pengolahan Pasca Panen
Tanaman Obat) dan PED (Pusat Ekstrak Daerah).
Pengadaan P4TO dan PED adalah contoh paket
pengadaan di mana tidak banyak penyedia yang mengajukan penawaran sehingga
terkadang paket harus diulang. Meski secara rutin dilakukan sesuai bertambahnya
daerah yang menjalin perjanjian kerja sama, penyedia yang mau dan mampu
mengerjakan tender ini masih relatif sedikit.
Perpres yang melandasi proses pengadaan pun
berubah seiring waktu. Perpres Nomor 54 Tahun 2010 tentang Pengadaan
Barang/Jasa Pemerintah telah empat kali diubah sebelum hadirnya Perpres No 16
Tahun 2018. Tahun ini, sudah ada perubahan juga untuk Perpres No 16 Tahun 2018.
Ada juga kebijakan berupa edaran seperti Surat
Edaran Kepala LKPP No 1 Tahun 2015 tentang Pengumuman Pengadaan Barang/Jasa di
Surat Kabar. Pengumuman pengadaan via surat kabar kembali diwajibkan setelah
pada Perpres 54/2010, penayangan pengumuman pengadaan di surat kabar menjadi
hal yang bersifat pilihan. Namun sepertinya edaran ini tak banyak
disadari.
Perubahan regulasi memicu perubahan pelaksanaan
proses pengadaan. Dihapuskannya pejabat dan panitia penerima hasil pengadaan,
hingga adanya kewajiban E-Purchasing untuk Barang/Jasa yang sudah ada dalam
sistem katalog elektronik.
Proses pengadaan terkait erat dengan perencanaan
dan keuangan. Di lapangan, perbedaan cara pandang dapat memicu diskusi.
Misalnya tentang definisi barang dan jasa. Untuk pengadaan pencetakan, proses
pengadaannya adalah jasa, namun hasilnya memang berupa barang, dalam hal ini
buku atau sejenisnya. Tidak semua jasa hasilnya tidak berwujud seperti jasa
kebersihan atau jasa keamanan.
Pelaku pengadaan harus selalu mengikuti
perkembangan regulasi. Sebagai contoh, istilah Penunjukkan Langsung dan
Pengadaan Langsung kerap tertukar di lapangan. Penunjukkan Langsung tidak
mengenal ambang nilai, namun kondisi khusus, sementara Pengadaan Langsung
memiliki ambang nilai. Salah satu perubahan dalam regulasi adalah perubahan
besaran nilai untuk Pengadaan Langsung.
Proses pengadaan juga terkait erat dengan
keuangan. Bukti transaksi dengan besaran nilai tertentu misalnya, di Perpres
cukup dengan menggunakan kuitansi, sementara di keuangan kebijakannya berbeda
karena peraturan yang melandasi proses bisnis masing-masing memang berbeda.
Sistem aplikasi yang digunakan pun mengalami
cukup banyak perubahan. LPSE telah berubah dari versi 3 ke versi 4. Sebelumnya
perubahan jadwal pelaksanaan lelang harus diproses oleh Pokja Pemilihan ke
Administrator LPSE Kemenkes. Sekarang Pokja Pemilihan dapat mengubah jadwal
sendiri sesuai aturan yang berlaku. Menu-menu dalam LPSE pun semakin bervariasi
seperti reverse auction dan fasilitasi pemenuhan dokumen kualifikasi.
Pengunduhan dan pendekripsian dokumen penawaran misalnya dahulu dilakukan satu
per satu, sekarang dapat dilakukan secara simultan.
Apapun itu, kita berharap semua dimaksudkan untuk menuju perbaikan. Semoga pelaksanaan pengadaan dapat menjadi semakin sederhana, semakin transparan, semakin efisien dan semoga semakin memberikan manfaat yang seluas-luasnya bagi masyarakat.