Pada mulanya hanya ada orang (yang dianggap) pintar, tempat dimana masyarakat berikhtiar mencari kesembuhan. Orang (yang dianggap) pintar tersebut biasanya menggunakan tanaman tertentu yang diramu dan dibacakan mantra-mantra dalam rangka menghilangkan penyakit. Ia yang memeriksa pasien, menentukan diagnosa, dan ia juga yang memberikan obat. One stop service.
Lalu kemudian rasio pun berkembang, landasan ilmiah mulai berdiri dan seiring dengan itu bentuk dan cara pengobatan menjadi semakin kompleks sehingga memerlukan para ahli yang berfokus pada penemuan, pengembangan serta pengolahan obat-obatan. Pada tahun 754 apotek pertama berdiri di Baghdad. Sementara itu, om Frederick II, raja Jerman merasa perlu untuk memisahkan bidang farmasi dan kedokteran dengan mengeluarkan ordo Two Sicilies pada 1240. Namun sampai saat ini belum ada aturan yang melarang apoteker menikah dengan dokter atau sebaliknya.
Profesi apoteker dan dokter memiliki peran dan fungsi masing-masing. Lambang kedua profesi itu diwakili oleh ular, yang membelit cawan dan yang membelit tongkat. Peran dan fungsinya dalam pelayanan kesehatan memang beririsan, namun pembahasan (atau pun perdebatan) tentang hak dan wewenang sebaiknya dikembalikan pada kepentingan pasien yang akan membuat posisi apoteker dan dokter menjadi setara dan searah. Selama ini terkesan, masing-masing profesi mengusung egonya sendiri.
Yang terjadi di lapangan terkadang tumpang tindih. Misalnya saja pada pelanggaran kode etik profesi kedokteran yakni praktek dokter yang sekaligus langsung memberikan obat kepada pasien (self dispensing). Praktek dispensing ini dapat membuka celah bagi oknum dokter untuk memberikan obat tertentu tanpa berdasarkan pertimbangan klinis yang benar karena tidak adanya pengawasan dari pihak ketiga. Kewenangan dokter secara legal adalah mendiagnosa, tidak boleh melakukan dispensing obat. Hanya saja mungkin sebagian dokter masih merasa hidup di zaman dulu.
Fenomena dokter dispensing ini diperparah oleh industri farmasi yang menjalin hubungan bisnis dengan sebagian oknum dokter untuk meresepkan suatu jenis obat dengan merek tertentu. Dari cerita seorang teman, ternyata cara-cara yang dijalankan bisa sangat 'mengerikan', ketika obat 'dipaksakan' untuk habis dalam jangka waktu tertentu sehingga terkadang pasien dijejali obat yang sebenarnya tidak diperlukan.
Pasien memiliki hak untuk dapat memilih obatnya sesuai kemampuan dengan tidak mesti bergantung pada merek tertentu. Hal ini akan terkait juga dengan efisiensi biaya kesehatan. Perbedaan harga yang menjurang antara obat generik (berlogo) dan obat (generik) bermerek membuat biaya pelayanan kesehatan terkesan mahal. Padahal itu tidak taken for granted dalam artian pasien berhak menerima atau menolak. Itulah sebabnya di apotek, selalu kita diberikan harga, baru obat diracik. Mungkin agak berbeda ketika kita membeli soto ayam dimana bisa saja setelah sotonya sudah habis, baru kita bertanya pada pedagangnya berapa harganya.
Di sisi lain, sebagian apoteker mengambil alih wewenang dokter dalam menentukan diagnosa. Untuk kondisi penyakit ringan memang diperbolehkan, namun terkadang apoteker atau petugas di apotek mudah sekali memberikan obat keras (yang semestinya diserahkan jika hanya dan hanya jika ada resep dari dokter) tanpa resep.
Kita berharap tidak lagi ada semacam 'kebingungan', kewenangan memberikan obat ada di tangan dokter ataukah apoteker. Dokter boleh saja memberikan resep obat berupa merek obat tertentu, namun kceputusan terakhir tetap ada pada pasien. Lalu apa peran apoteker? Apoteker dapat dan selayaknya memberikan saran kepada dokter dan pasien tentang alternatif pilihan obat serta cara pemberian yang lebih ekonomis atau lebih baik secara farmakoterapi.
Pembagian peran profesi kesehatan memang merupakan kondisi ideal, tapi bukan utopis. Bahwa ada penyimpangan pada beberapa situasi dan kondisi, perlu dan dapat dimaklumi tapi bukan untuk dijadikan kebiasaan.
Regulasi di atas kertas sebenarnya sudah mengatur irisan hak dan kewenangan profesi apoteker dan dokter, yang perlu ditingkatkan adalah komitmen untuk melaksanakan dan mengawasi pelaksanaannya. Juga kedewasaan dan kejujuran dari setiap insan profesi kesehatan dalam melakukan tugas pengabdiannya.
NB : Tulisan ini juga saya posting di Politikana
http://www.politikana.com/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar