Dalam sebuah acara promosi kesehatan pada masyarakat, ketika segmen yang menjelaskan tentang seluk-beluk obat generik, profesi apoteker tidak disinggung. Memang kemudian muncul pertanyaan, yang dipermasalahkan itu 'pesannya' atau 'pembawa pesannya'? Jika pesan yang disampaikan tepat sasaran, tidak masalah siapa yang menyampaikannya bukan?
Sebuah buku promosi kesehatan sekolah, halaman 4 berbunyi “Petugas kesehatan baik sebagai pegawai negeri, pegawai pemerintah daerah, pegawai BUMN maupun swasta yang menyelenggarakan pelayanan kesehatan, Rumah Sakit, Puskesmas, atau Balkesmas, Poliklinik atau praktek swasta adalah juga sekaligus merupakan petugas Promosi Kesehatan atau Promotor/Pendidik Kesehatan. Dokter, dokter gigi, perawat, bidan, petugas di ruang obat atau apotek dan sebagainya, dalam tugas melayani pasien sehari-hari berkewajiban untuk menyampaikan informasi kepada pasien atau yang dilayani (klien) terkait dengan penyakit atau masalah kesehatan yang dialami oleh klien tersebut.“ Betapa profesi apoteker sungguh-sungguh nyaris tidak terlihat.
Insiden-insiden ini akan terus berulang saya kira. Barangkali apoteker adalah salah satu profesi yang tak kasat mata. Serupa dengan perancang arah di bandara atau penerjemah elit di PBB seperti diulas David Zweig di bukunya Invisibles: Celebrating the Unsung Heroes of the Workplace.
Salah satu cara untuk menyikapi fenomena ini barang kali dengan menulis. Sehingga apoteker menjadi lebih dikenal, tak hanya ketika ada insiden yang kurang mengenakkan, tapi karena memang peran dan fungsinya dibutuhkan oleh masyarakat.
Maka saya kembali memulai menulis. Menyuarakan pandangan dari mereka yang tak kunjung bersuara. Beberapa tulisan saya bisa dilihat di farmasetika.com tentang APA, tentang hubungan resistensi antibiotik dan reformasi birokrasi, juga bagaimana apoteker pun punya peran dalam ranah yang boleh jadi bukan domain aslinya. Oh ya, saya juga menulis tentang pengembangan kosmetika untuk Asia dan cara lain memahami masalah di Geotimes.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar