Beberapa waktu lalu saya mendengar sebuah pagelaran wayang di radio tentang obat generik. Disampaikan dalam bahasa sunda, rasanya ini sebuah bentuk pendekatan kultural dalam mensosialisasikan obat generik. Entah apakah ini memang program pemerintah atau CSR sebuah perusahaan swasta.
Disadari atau tidak, kesan obat generik masih tak jauh dari obat dengan kualitas rendah. Ini menjadikan akses terhadap obat generik menjadi terpinggirkan, kalah dengan serbuan obat bermerek yang berhasil menempati bawah sadar konsumen melalui promosi.
Pendekatan kultural seperti yang saya temui belakangan merupakan sebuah metode yang potensial untuk meningkatkan kepercayaan masyarakat terhadap obat generik. Berkaca pada pengalaman saya di apotek beberapa masa silam, sebagian konsumen lebih suka memilih obat bermerek meski lebih mahal, padahal jika dilihat dari penampilannya, mereka bukanlah golongan yang berada. Mungkin memang obat murah tidak selalu dicari, tapi jika penyebabnya adalah karena kurang percayanya masyarakat terhadap obat generik, tentu ini menjadi persoalan karena secara ilmiah, uji bioekivalensi tidak menunjukkan perbedaan bermakna antara obat generik dan obat bermerek.
Harus diakui, riset bukan program unggulan di industri farmasi lokal. Maka yang terjadi adalah melimpahnya merek obat untuk satu jenis bahan aktif yang sama. Jika uji ketersediaan hayati menunjukkan tiada perbedaan bermakna antara merek yang satu dengan yang lain, apalagi dengan obat generik, lalu mengapa mesti ada begitu banyak merek obat di pasaran? Akhirnya menjadi begitu banyak merek obat, seperti pertanyaanku tentang kamu...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar