02 Mei 2010

Romansa Kimia

Tadi pagi masuk kelas menerangkan tentang senyawa hidrokarbon. Bagaimana keunikan atom karbon karena empat elektron valensinya, ukuran kecilnya serta variasi rantai karbonnya. Dengan adanya empat elektron valensi, atom karbon dapat mengikat satu atom karbon lain, dua atom karbon lain, tiga atom karbon lain serta empat atom karbon lain. Ia tak dapat membentuk ikatan dengan lebih dari empat unsur lain. Jumlah yang diperbolehkan baginya adalah empat. Tidak lebih. Tidakkah ini serupa dengan aturan agama?

Atom karbon dapat bergabung dengan atom karbon lain membentuk ikatan tunggal atau rangkap. Ikatan rangkap dapat berupa rangkap tiga, yang masih bersifat jenuh dan dapat mengalami pemutusan ikatan. Ketika telah tiga kali mengalami pemutusan ikatan, kedua atom karbon tidak lagi bergabung dalam suatu senyawa. Lagi-lagi menggunakan prinsip yang sama dengan hubungan dua manusia.

Dua minggu sebelumnya materi tentang elektrolit. Dimana ternyata kekuatan elektrolit bergantung pada ionisasi larutan atau seberapa banyak zat-zat terlarut (solut) terurai dalam air. Jika terurai sempurna, kekuatannya semakin besar. Demikian pula, kekuatan cinta akan semakin nyata ketika perhatian diberikan sepenuhnya, tidak sebagian saja.



Tepatlah kenapa mereka sering berkata cinta itu tentang proses kimia. Hukum-hukum kimia ternyata bekerja pula pada cinta. Tetapi sore itu sebersit cetusan pikiran muncul di benak saya.

Cinta tak perlu dicari. Entah ia akan singgah sendiri, atau kelak tumbuh menyemai di hati.



Untuk apa terus mengunyah jika rasa telah sepah dan manis telah habis? 
Ketika usai menghisap madu, apakah akan masih ada rindu?
apa yang menarik dari seorang perempuan tua yang tak lagi cantik?
apa yang bisa dilakukan sang mantan lelaki perkasa semenjak menua selain merepotkan?
saat pesona yang tampak di mata satu demi satu sirna, dapatkah kebaikan hati menata ulang cinta sehingga dua manusia dapat merasa bahagia meski mungkin tak seperti di surga?
lalu mungkinkah datang manis setelah sepah habis?