25 Februari 2022

Jangan Pernah Menyerah untuk Mencari Celah

“Saya punya mimpi terkait perjalanan akademik, yakni kuliah S2 ke luar negeri. Dalam rangkaian perjalanan akademik saya yang berwarna-warni seperti di bawah ini, saya masih menyimpan mimpi.” (Bersemi dari Sekolah Farmasi)




Saat ini sudah banyak sekali kisah-kisah pencapaian beasiswa.

Saya berharap kisah saya dapat menambahkan satu lagi sentuhan warna, yang sedikit berbeda.

Selama ini, kegagalan dan penolakan sudah sering bercanda dengan saya.

Lulus kuliah dengan IPK seadanya, saya tak berharap moeloek-moeloek, walaupun saya sempat menjadi stafnya bu Moeloek. Bekerja di apotek. Itu saja. Tak ada terfikir untuk melamar CPNS atau melanjutkan pendidikan tinggi. Nyatanya saya dianugerahi keduanya. 

Dahulu paska lulus sarjana, saya melamar ke berbagai tempat.

Beberapa di antaranya adalah …

Melamar ke RSUD Karawang, ditolak

Melamar ke Kalbiotech, Kalbe, dan beberapa perusahaan lain, tidak mendapat jawaban

Tawaran apotek di Bogor, lalu di Pelabuhan Ratu, menolak

Melamar, Seleksi, lalu wawancara di Guardian, ditolak

Dipanggil Graha Finesa, sebanyak 2x, menolak

Melamar ke Kalbe Vision dan International SOS, tidak dipanggil

Ada apotek baru di Bekasi, menolak

Ada apotek baru di Karawang, diacuhkan

Melamar ke LKC, no answer

Wawancara di Brataco, pending

Apotek K-24, wawancara final. Ditolak pemilik sarana.

Wawancara Penerbit EGC, ditolak. Saingan saya kini bekerja di Kemenkes.

 

Saya lalu bekerja di Kemenkes sejak 2010. 

Tahun 2014 saya memulai pencarian pendidikan lanjut. Tertarik pada tema ini. Farmasi sosial.

2014 - Saya mendaftar program International Graduate Program in Social and Administrative Pharmacy (SAP) di Universitas Chulalongkorn, Thailand. Saya sampai menelepon dosennya di Thailand untuk memastikan proses yang harus dilalui. Tidak ada kabar tentang lamaran saya.

2015 - Banyak yang saya daftar, termasuk Erasmus, baik Action 1 maupun Action 2. Alfabet dan Lotus. University of Porto dan Uppsala University adalah beberapa kampus yang saya pilih. Saya juga mendaftar di KIT.

 

Di Maastricht dan Copenhagen, saya diterima di kampusnya, tapi tidak mendapatkan beasiswa.

Edamus. Tidak diterima.

2020 - Saya mendaftar beasiswa Posco Korea Selatan dan New Zealand. Tidak diterima.

Saya juga mencoba mendaftar SISGP dua kali di tahun 2020 dan 2021. Program yang sama. Pharmaceutical Modelling - Uppsala University. 

Programnya diterima, tapi beasiswanya tidak.

 

Banyaknya? Ya.

Persamaannya? Ya, beasiswa-beasiswa ini tidak mensyaratkan IPK.

IPK saya yang di bawah rata-rata menyempitkan pilihan-pilihan saya. Namun itu kemudian membuat saya lebih fokus membidik peluang dan mempersiapkan segala sesuatunya serta memoles apa yang bisa diupayakan.

Tadinya saya akan mendaftar LPDP. Waktu itu syarat IPK bisa dikesampingkan jika ada LoA. Namun saat akan mendaftar syaratnya berubah lagi.

Tentu tidak semua berisi kegagalan-kegagalan. Ada pencapaian-pencapaian kecil dan menengah yang menguatkan. Tahun 2015 saya mengikuti kursus keamanan pangan di University of Wageningen dengan beasiswa Netherland Fellowship Programme (NFP). Sayang sepertinya NFP tidak berlanjut dan digantikan oleh Orange Knowledge Programme.

Di tahun yang sama saya mengikuti pelatihan manajemen bahan kimia di Kemi, Swedia dengan biaya SIDA, badan kerja sama internasional Swedia.

Perlahan, saya menumbuhkan sebuah optimisme yang lahir dari keterpaksaan.

 


Whatever it takes!

Tapi IPK saya di bawah standar rerata para peraih beasiswa. Pengalaman organisasi juga biasa saja. Saya hanya pernah menjadi ketua sebuah kepanitiaan acara konser nasyid dan kepala bidang sebuah unit kegiatan mahasiswa.

Terakhir saat Quora memberikan akses kepada saya untuk membuat Ruang, saya menggagas Birokrasi Indonesia. Selebihnya hanya tulisan saya yang terpencar di berbagai media.

Lalu tiba-tiba keajaiban terjadi.

Saya bahkan telah sampai pada titik di mana saya lelah. Dan berfikir mungkin memang paska sarjana bukan buat saya.

Saya mendaftar Emmcchir sejak 2015, 2016 dan 2021. Ini percobaan ketiga saya. Sebelumnya harus puas berada di reserve list.

Dan kini saya berkesempatan mengenyam ilmu di universitas tertua di belahan barat..

Sebuah anugerah yang luar biasa. Kesempatan nan sangat berharga.

Saya yang dari segi akademik, pengalaman organisasi pun biasa-biasa saja. Lalu apa?

Privilege. Apakah saya memiliki privilege? Bisa jadi. Saya tak pernah kursus bahasa secara formal. Saya bekerja di pemerintahan.

Empat belas kali gagal.

Kemudian menjadi satu dari dua orang Indonesia pertama di program ini.

Dan ini mungkin buat sesiapa saja yang akan dan tengah memperjuangkan mimpinya.

 

Jangan pernah lelah untuk mencari celah!