13 Oktober 2011

Bersedia Bersedih

Ia seperti salicyl talkum cum corrigens oleum rosae dalam wadah tertutup baik.
Ialah yang pertama hadir, saat itikafku berakhir.
Lalu entah bagaimana chemistry itu bereaksi. Ingin menyuntingnya, menjadikannya teman sehati.
Dengan sungguh menyadari bahwa meski mungkin diriku bukan yang pertama hadir, tetapi akan menjadi yang terakhir, di hatinya.
Untuk sepenuhnya percaya padanya ketika orang lain meragukannya.
Sedemikian hingga meski tak akan pernah tahu alasannya mengapa.

Sama-sama suka menatap jendela bis ?
Sama-sama suka menulis ?
Sama-sama punya kecenderungan melankolis?

Tuhan, teduhilah belahan jiwaku, tolong jaga dia.
Tuhan, aku sayang dia.
Bukankah aku tidak pernah kecewa dalam berdoa kepada-Mu?
Jadikanlah aku, Salakina Salamina.

Ah, tahukah kamu?
Selalu mereka bilang, pelanggan adalah raja. Maka kamu adalah ratu, dihatiku.
Selalu mereka bilang, karirku begitu cemerlang.
Tapi tanpamu sayang, aku akan selalu merasa kurang. Aku tak akan pernah mampu terbang.
Cause you are my guardian angel.
Kamu adalah new beginning dan happy endingku.
For the best of my life, for the rest of my life. My life, my wife.
Kau adalah orang yang fotonya ada di ruang tamuku kelak.

Aku tak ingin membuatmu menangis bersedih,
aku hanya ingin kau tersenyum bersedia.
Dan untuk itu, aku bersedia bersedih, bersedia menanggung perih.

Pagi dan Mentari

Yang lelaki kehilangan sosok ibu pada usia belia.
Yang perempuan ditinggalkan sosok ayah di umur yang masihlah muda.
Keduanya tumbuh. Meski dalam aliran kasih dan naungan sayang yang tak genap seperti orang lain pada umumnya.
Kemudian keduanya dipertemukan.
Kedua pribadi yang sama-sama kehilangan telah saling menemukan.

Yang satu lahir di Purwakarta, 5 tahun setelah kemerdekaan, bertepatan dengan hari pendidikan. Yang satu lahir 5 tahun setelahnya, sama-sama menjadi anak kedua dalam keluarga.

Yang satu pendiam, yang satu tak bisa diam.
Ketika hitam putih berpadu, tak perlu selalu menjelma abu-abu, tetapi cukup menjadi pelangi, berwarna-warni, seperti potongan puzzle yang saling melengkapi.

Entahlah, mungkin bila benar-benar tiba waktunya, tak akan terucap kata-kata, tak kan tertulis cerita-cerita. Yang tersisa hanya syukur yang terhaturkan pada-Nya, hanya pesona, yang tak habisnya.
Seperti pagi dan mentari.
Saat dua hati yang tertakdir untuk dipersatukan, telah saling kehilangan, mencari, dan menemukan.