22 Maret 2008

(Oknum) Mbah Dokter

Ada mbah dokter sedang ngobatin pasiennya

konon katanya sakitnya sudah sekian lama

sambil bergumam mbah dokter nulis resep

dengan selembar kertas lalu pasien disembur

antibiotik, vitamin, antipiretik, suplemen, analgesik, semua yang namanya obat


Mbah dokter tolong juga saya

yang sedang kejar setoran dari si boss pabrik farmasi

Mbah dokter tolong lihat di buku primbon

apa mungkin obatnya harus semahal itu?



(Dalam nuansa keprihatinan)

13 Maret 2008

1001 Kata Tentang Kesehatan di Indonesia



Rrrrr

Ada apa tanggal 24 Februari? Di tahun 2008, Fidel Castro pangsiun jadi Presiden Kuba setelah hampir 55 tahun. Di tahun 1304, Ibnu Battuta lahir, dan di tahun 1955, Steve Jobs yang membuat Apple, lahir. Nah, pada 24 Februari 2008 (bersamaan dengan saat keluarga Wulan Guritno dan kekasihnya bertemu mempersiapkan pernikahan) berangkatlah saya dari Karawang ke Bandung. Di perjalanan sempat melihat peresmian Aksi Hijau di Tol Cipularang bersama Mensesneg, Hatta Rajasa. Saat lewat RSHS, ada pembangunan RS Pendidikan Unpad. Lho jadi RSHS itu apa dong? Dan lagi lokasinya tepat bersebelahan dengan RSHS. Hmm, kapan selesainya ya?

Sampailah di Ciumbuleuit (yang ternyata masih masuk Bandung). Dari RS TNI AU, turun ke arah pangkalan ojek. Berjalan terus sambil melihat ke kiri dan ke kanan. Lho jalannya semakin menanjak. Semakin jauh sampai mulai kecapean dan nafas terasa sesak. Aduh, pusing, jantung pun berdebar, rasanya harus istirahat dulu. Belakangan ini memang jarang olah raga. Ups, rupanya salah jalan, harusnya belok kanan di bawah tadi. Maklum HP sy HP sederhana, belum punya fasilitas GPS. Yang ada malah informasi diskon 40% di Preanger. Hmm, terpaksa cari GPS tradisional saja. Aha, ada tempat bertanya. Wah, orang sunda asli, kedengeran banget sundanya. Setelah ditunjuki (bukan ditunjuk-tunjuk), memutuskan untuk berjalan ke lokasi, belum lama, ada rekan sejawat dokter yang baru pulang dari lokasi, menyarankan untuk naek ojeg saja. Karena lebih percaya beliau daripada seseorang yang pada waktu memberi tahu lokasi menyarankan untuk jalan kaki, akhirnya naek ojeg juga. Dan benar, jalannya jauh sekali, naik turun pula.

Sampai ojek berhenti pun masih harus jalan, turun tangga yang curam. Wah, ada rombongan rekan-rekan apoteker.
Fiuuh, Akhirnya datang juga. T'Mawar dan adiknya tiba tak lama kemudian. Oh ini toh mempelai prianya, kok bisa lupa ya? Setelah salam-salaman, langsung menikmati hidangan. Habis itu beramah tamah dengan undangan yang lain. Ada Ron dan Anton. Ada Gita, mana yang lainnya ya? Ada rekan-rekan dari MIPA. Luar biasa, rasanya ini pernikahan dengan undangan datang terbanyak yang pernah saya lihat. Betapa banyak orang yang datang untuk mendoakan pernikahan ini. Barakallahu laka.

Pulangnya ada tumpangan gratis sampai DU. Saya lalu melanjutkan ke Leuwi panjang dengan Damri. Bulan depan siapa menyusul ya?

Hanya satu hal yang agak mengganjal.

~maafkan ku tak pernah berterus terang~

Kilas Balik Setahun Paska Kampus


Awalnya Biasa Saja


Banyak yang terjadi setelah berkemas meninggalkan kampus. Memang bukan kisah yang istimewa, meski berharap cukup bisa menjadi pelajaran. Hanya ingin memberi tanda agar setelah lebih dulu salah jalan, yang datang belakangan tak menempuh jalan salah pula. Hidup terlalu pendek untuk dihabiskan dengan belajar dari kesalahan sendiri. Maka belajarlah dari kesalahan orang lain. Tak memberi saran untuk mengikuti apa yang dijalani. Toh, tak menjamin apa yang dijalani ini suatu kebenaran. Menyesalkah saya? Hmm, Ya dan Tidak. Bukankah paramater kesuksesan dan kebahagiaan itu berbeda untuk setiap orang? Apapun, pilihan telah diambil, adalah wajar jika sebuah pilihan memiliki biaya kesempatan (opportunity cost) sendiri. Sesuatu yang waktu itu dipahami sebagai idealisme. Paling tidak bisa menjadi sesuatu untuk dibagi.

Semuanya dimulai seperti yang lain. Melamar ke beberapa perusahaan. Namun kemudian tidak lama, ada tawaran untuk bersama-sama mengelola sebuah usaha bersama, lebih lagi usaha tersebut sangat sesuai dengan profesi. Selain itu ada rencana pula untuk menggabungkan diri dengan sebuah usaha distribusi. Sayang setelah melalui proses beberapa lama, langkah ini harus berhenti di tengah jalan. Sekitar Ramadhan, saya kembali memulai dari awal. Sebuah biaya kesempatan telah ditunaikan.

Kembali menelusuri lowongan demi lowongan. Seperti memilih pasangan hidup atau memilih jurusan sewaktu UMPTN dulu. Buat saya pribadi, memilih profesi pun sedikit banyak seperti itu. Sebagaimana tidak “asal kuliah”, maka sekarang pun saya tidak berfikir pragmatis. Dan sedikit banyak, saya mengalami perdebatan internal tentang satu dua peluang kerja. Sesuatu yang menurut saya agak meragukan.

Ketika berkomitmen untuk tidak mendekati batas-batas tertentu, apa itu bukan membatasi diri? Pada mulanya berfikir begitu, lha wong yang biasa-biasa saja susah ini malah memperumit kriteria. Tapi kemudian berfikir bahwa ini lebih seperti jalur-jalur yang mengarahkan aliran air. Airnya sendiri dapat tetap mengalir deras, yang berubah hanya arah alirannya. Jadi buat saya ini adalah jalan yang lebih terarah. Saya hanya perlu mempercepat aliran airnya sehingga dapat mengalir lebih deras.

Dalam perjalanan, sempat terbawa ke dunia kepenulisan, dunia yang memikat minat saya sejak kecil. Awal ramadhan, tulisan pertama saya dimuat di surat kabar. Motivasi pun tumbuh, kemudian mulai aktif menulis dan mengirimkannya ke media-media, baik cetak maupun online. Tapi kemudian timbul pertanyaan, lalu bagaimana dengan gelar saya? Akankah diabaikan? Saya kembali berdebat dengan diri sendiri. Bukankah profesi ini tak semua orang bisa memasukinya? Apa artinya kuliah 5,5 tahun? Tapi bukankah pula pekerjaan kefarmasian itu pun salah satunya informasi obat, jika salah satu tulisan saya untuk menginformasikan obat ke masyarakat luas, bukankah itu artinya saya mengabdi di profesi saya juga? Hidupkah dari menulis? Tentu perlu waktu, tapi bagaimana selama proses itu? Dan waktu terus berjalan, manusia pun berpacu.


Terjatuh dari Langit


Kita tidak selalu bisa memilih apa yang terjadi, tapi kita selalu bisa memilih reaksi kita.

Apa yang anda lakukan jika semua yang telah anda bangun runtuh satu persatu di hadapan anda tanpa bisa anda cegah?

Saya gagal.

Ya, saya gagal

Ada masanya saat hampir setiap aspek hidup saya berada dalam masalah

Pertemuan rutin bermasalah, amanah tak punya, binaan tak ada, kualitas ibadah berantakan, kerjaan tetap belum punya, kerjaan sampingan belum bisa diandalkan, dan sekian masalah lain.

Hidup saya betul-betul berantakan waktu itu.

Dua lembar ijazah, pembinaan selama empat tahun, berbagai pelatihan, beragam buku yang saya baca, seakan nggak ada artinya lagi.

Semuanya kacau. Saya gagal di setiap apa yang saya lakukan. Saya berusaha mengubahnya, tapi tak ada yang benar-benar membaik. sebagian malah memburuk.

Kabar itu seakan menjelma tsunami yang menghanyutkan impian dan harapan

Karir saya berakhir bahkan sebelum sempat dimulai. Layu sebelum mekar

Tak lagi punya arah. Tak lagi punya alasan untuk berdiri kukuh

Sebodo amat, saya tak peduli lagi

Saat itu saya tahu, harapan adalah harta terbesar. Kita bisa kehilangan semuanya, tapi sebaiknya tidak kehilangan harapan.

Dengarkanlah permintaan hati yang teraniyaya sunyi

Berikanlah arti pada hidupku yang terlepas yang terhempas*

*Meminjam Lirik Permintaan Hati_Letto


Mencoba Bangkit dari Reruntuhan


Satu per satu saya berusaha bangkit merapikan diri yang tak lagi utuh. Berat, panjang dan sunyi.

Saya tak ingin jadi korban. Karena itu dari rumah, saya mengusahakan tiga pekerjaan sekaligus. Sedikit demi sedikit. lama-lama menjadi sakit. Sakit mata kelamaan depan komputer, sakit hati karena sering ditolak, sakit jiwa karena stresss. Hehehe..

Saya tak ingin jadi serigala. Saya tak ingin menghalalkan segala cara. Saya ingin melakukannya dengan cara terbaik yang saya bisa.

Sebenarnya semuanya akan lebih mudah jika benteng jiwa dalam keadaan prima. Tapi itu dia masalahnya, Konstruksi ruhani saya luluh lantak tak karuan. Bukan karena faktor lingkungan, tapi terutama karena diri sendiri.

Dan sekarang, saya hanya punya dua pilihan. Berbelok di tikungan berikutnya, atau menancap gas sekencang-kencangnya.




07 Maret 2008

Ada Apa dengan (Ayat Ayat) Cinta


Terkadang waktu berjalan sedemikian cepatnya tanpa memberi kita kesempatan untuk berpikir sebenarnya apa yang sedang terjadi pada diri kita sendiri. (Novel Ayat Ayat Cinta)



Suatu hari saya bersama ibu-ibu dan remaja-remaja kompleks pergi bersama untuk menonton film Ayat-ayat Cinta. Apa daya kasih tak sampai, tiketnya habis saat tiba di lokasi. Kami pun kembali pulang. Di perjalanan sempat terbersit pertanyaan, mengapa film ini rasanya begitu banyak dinanti? dibanding film lain yang seperiode seperti Love, XL, dan sebagainya dan sebagainya. Kompas memuat berita bahwa 95 % kursi selalu terisi di bioskop yang memutarnya. Pita film ini bahkan digandakan hingga 100 copy, sementara film-film Hollywodd saja biasanya hanya dibuat 65-70 copy.


Apakah karena adanya penundaan dari jadwal tayang semula sehingga memicu rasa ingin tahu? Apakah karena diangkat dari novel best seller (meskipun sebagian berpendapat bahwa novelnya berbeda dengan film)? Apakah yang terjadi? Ada apa dengan ayat-ayat cinta?


Apalagi jika melihat kontennya, sebuah tayangan religi dengan tema cinta, menampilkan perempuan bercadar, menceritakan poligami, belum lama setelah nuansa valentine. Seolah ingin bersanding dengan usungan persepsi cinta yang selama ini akrab di masyarakat. Tema cinta dalam bingkai religi. Apakah cinta memang seia sekata dengan religiusitas? Jadi teringat bahasan di beberapa blog tentang redefinisi pacaran islami.


Padahal banyak orang bilang filmnya berbeda dengan novel (yang merupakan best seller). Dimana-mana karya yang mengalami alih media pasti beda hasilnya. Saya nonton Meitantei Conan di TV saja beda rasanya dengan baca komiknya. Demikian juga dengan Harry Potter. Sehingga tentu film ini tentu pasti berbeda dengan novelnya. Tapi, menarik juga membaca kisah di balik pembuatannya.


Atau mungkin karena lagunya muncul duluan dan menimbulkan penasaran? Sound tracknya terbilang irit, cuma ada tiga lagu baru, dua lagu dari Ungu dengan aransemen ulang. Rossa membawakan Ayat Ayat Cinta, yang sepertinya mewakili curahan hati Maria. Lagu lain yang dibawakan Rossa, Takdir Cinta rasanya menggambarkan perasaan Nurul pada Fahri. Sementara lagu Jalan Cinta yang dibawakan Sherina tampaknya menggambarkan nuansa hati Aisha di bagian akhir cerita.


NB : Tulisan ini dibuat sebelum saya menonton film Ayat Ayat Cinta (terus kenapa?)


Bagian ini dibuat setelah saya menonton film AAC


Jadi juga, tapi sayang tertinggal sebagian cerita karena telat. Saat tiba, adegan sudah pada saat Noura diungsikan ke tempat Nurul.


Menurut saya, filmnya : Bagoes ! Kalau belum baca novelnya, tentu jadi ingin baca, seperti saat belum nonton filmnya

Yah walaupun rasanya ada adegan yang tak perlu. Sayang penggunaan bahasanya rancu, dan tidak jelas, siapa menggunakan bahasa Indonesia, Arab dan Ingggris.


Karakter Fahri dibuat lebih membumi, karakter Nurul di Film terasa hanya sebagai pelengkap. Media film dengan novel memang berbeda.

Wajar jika sebagian pembaca fanatik novel ini mungkin akan kecewa.


Namun dengan segmentasi penonton bioskop. Rasanya kita bisa berharap semoga yang menonton film tersebut termotivasi untuk menjadi lebih baik. Filmnya gak sempurna, novelnya juga ngga sempurna. Tapi bagus. Film dan Novelnya bagus, dengan karakter masing-masing.


Akhirnya, Saya mesti bersyukur karena ruangan bioskop gelap sehingga ... yah pokoknya film ini bisa menguras kelenjar lacrimale

Oh iya, tebakan saya tentang Ostnya salah ternyata.

Jadi, ada apa dengan Ayat Ayat Cinta? Nggak ada apa-apa tuch.


Semua kembali lagi pada iman kamu (Film Ayat Ayat Cinta)



Obituari


Sebuah SMS duka cita datang di suatu malam, mengabarkan sebuah kepergian

Mendengar namanya, yang terbayang di benak saya adalah wajahnya yang sedang tersenyum

Mungkin begitu ya, seperti apa keseharian seseorang, itulah yang akan tercitra dalam benak

dan lalu terbersit tanya, kapan tiba masaku?


~mengenang kepergian seorang adik kelas~


Prince Harry and the Deathly Hallows

People always wanting for something they don't have. When common people interested to taste what it feels like to be a prince. Prince Harry want to experience what it's like to be an ordinary citizen, in this case, to be a soldier in a battle field. We were never satisfied. We constantly searching for things we don't have, till our mouth was filled by graveyard land. So when we will be happy when we keep on searching and waiting for happiness?

Well, maybe happiness is not about what you are, but it's about how you respond. How you decide to feel. Happiness is up to you, yourself. Only you who can make yourself happy, by cherish every blessings in your life. Be grateful and enjoying every moment in deepful meaning.

In other view, happyness is also about doing things you like, whatever it takes. Like prince Harry did. even so it triggers media attention, Harry has got what he wanted.

It was by doing what he wanted to do. The power of free will. We do, have choice.