29 Januari 2018

Serupa Tapi Tak Sama

Saya sedang menelusuri lini masa Facebook saya ketika tiba-tiba saya mendapati sebuah tautan yang dibagikan seorang teman. Saya tertarik melihat judul tautan tersebut, karena membuat saya mengira tulisan sayalah yang dibagikan. Pasalnya judul tautan tersebut sangat mirip dengan judul tulisan saya di forum yang berbeda.

Ini tautan yang dibagikan oleh teman saya.

Ini tulisan saya.

Serupa judulnya tapi tak sama isinya. Itu yang membuat saya sempat mengira itu tulisan saya, tapi ternyata bukan.

Mungkin seperti aku mengira kamulah orangnya, ternyata ...

18 Januari 2018

Mereka (Ulang Peran) yang Tak Terlihat

Belum lama ini, sebuah kontroversi (kembali) mengemuka. Isu lama sebetulnya, tentang pembagian kompetensi antar tenaga kesehatan. Seorang dokter menyarankan agar tidak menanyakan penggunaan (suatu) obat pada apoteker. Ya, entah kenapa isu ini selalu berulang. Terkadang dari sisi yang menyoroti dokter dispensing, terkadang dari sisi yang lain. Mungkin tidak akan ada titik temu, kecuali diambil dari sudut pandang keberpihakan pada pasien.

Dalam sebuah acara promosi kesehatan pada masyarakat, ketika segmen yang menjelaskan tentang seluk-beluk obat generik, profesi apoteker tidak disinggung. Memang kemudian muncul pertanyaan, yang dipermasalahkan itu 'pesannya' atau 'pembawa pesannya'? Jika pesan yang disampaikan tepat sasaran, tidak masalah siapa yang menyampaikannya bukan?

Sebuah buku promosi kesehatan sekolah, halaman 4 berbunyi “Petugas kesehatan baik sebagai pegawai negeri, pegawai pemerintah daerah, pegawai BUMN maupun swasta yang menyelenggarakan pelayanan kesehatan, Rumah Sakit, Puskesmas, atau Balkesmas, Poliklinik atau praktek swasta adalah juga sekaligus merupakan petugas Promosi Kesehatan atau Promotor/Pendidik Kesehatan. Dokter, dokter gigi, perawat, bidan, petugas di ruang obat atau apotek dan sebagainya, dalam tugas melayani pasien sehari-hari berkewajiban untuk menyampaikan informasi kepada pasien atau yang dilayani (klien) terkait dengan penyakit atau masalah kesehatan yang dialami oleh klien tersebut.“ Betapa profesi apoteker sungguh-sungguh nyaris tidak terlihat.

Saya pernah membaca sebuah artikel yang ditulis oleh seorang anggota Komisi IX DPR, Zuber Safawi, SHI (dari gelarnya sih nampaknya bukan orang kesehatan) yang berjudul “Mencari Solusi Problem Tenaga Kesehatan”. Artikel ini membahas tentang tenaga kesehatan tapi tak satu pun menyebut kata ‘apoteker’ atau ‘farmasis’. Saya jadi agak sedikit malu untuk mengaku sebagai tenaga kesehatan.

Insiden-insiden ini akan terus berulang saya kira. Barangkali apoteker adalah salah satu profesi yang tak kasat mata. Serupa dengan perancang arah di bandara atau penerjemah elit di PBB seperti diulas David Zweig di bukunya Invisibles: Celebrating the Unsung Heroes of the Workplace.

Salah satu cara untuk menyikapi fenomena ini barang kali dengan menulis. Sehingga apoteker menjadi lebih dikenal, tak hanya ketika ada insiden yang kurang mengenakkan, tapi karena memang peran dan fungsinya dibutuhkan oleh masyarakat.

Maka saya kembali memulai menulis. Menyuarakan pandangan dari mereka yang tak kunjung bersuara. Beberapa tulisan saya bisa dilihat di farmasetika.com tentang APA, tentang hubungan resistensi antibiotik dan reformasi birokrasi, juga bagaimana apoteker pun punya peran dalam ranah yang boleh jadi bukan domain aslinya. Oh ya, saya juga menulis tentang pengembangan kosmetika untuk Asia dan cara lain memahami masalah di Geotimes.

07 Januari 2018

Belajar dari Sistem Imun Bakteri untuk Menyelamatkan Dunia



Kasus difteri yang kembali mewabah mendorong pemerintah memasukkan vaksinasi difteri ke dalam program nasional. Saat kita melakukan vaksinasi seperti difteri, imun tersebut tidak diwariskan sehingga jika kita ingin agar anak kita juga kebal, kita harus melakukan vaksinasi juga kepadanya.
Sementara bakteri telah selangkah lebih maju, ketika ia mampu melindungi diri dari virus, ia juga mewariskan kemampuannya ketika berkembang biak. Banyak yang bisa dipelajari dari bakteri, salah satunya adalah bagaimana bakteri mengembangkan sistem imun yang sangat efektif dalam menghadapi infeksi virus.
Saat virus menyerang bakteri, bakteri menangkap potongan Asam Deoksiribo Nukleat (ADN) dari virus lalu membuat segmen ADN yang memungkinkan bakteri untuk mengingat virus ini. Ketika virus menyerang kembali, bakteri akan memproduksi segmen Asam Ribo Nukleat (ARN) dan kemudian memotong ADN virus sehingga virus menjadi tidak berdaya.
Penyuntingan gen adalah sebuah teknik untuk menambahkan, memindahkan, atau mengubah materi genetik dalam ADN suatu organisme. Teknik terbarunya dikenal dengan nama CRISPR-Cas9, singkatan untuk Clustered Regularly Interspaced Short Palindromic Repeats and CRISPR-associated protein 9. Teknik ini lebih cepat, murah, akurat dan efisien dibanding teknik lain yang sudah ada serta dapat menangani beberapa gen sekaligus.
Tim dari Universitas Harvard dan MIT, yang dipimpin oleh Feng Zhang, merancang CRISPR-Cas yang mampu melakukan mutasi tanpa merubah ADN. CRISPR-Cas13, mampu mengubah ARN yang akan menjadi basis sintesis protein. Tujuannya adalah memperbaiki sejak awal gen yang dapat menimbulkan penyakit. Teknik ini didasarkan pada protein Cas13, yang mengarahkan aktivitas deaminasi adenosin ke inosin oleh ADAR2 (adenosine deaminase acting on RNA type 2).
Sistem ini diberi nama REPAIR (RNA Editing for Programmable A to I Replacement), yang dapat digunakan untuk memodifikasi urutan ARN yang mengandung mutasi patogenik tanpa perlu mengubah ADN. REPAIR adalah platform menjanjikan untuk mengubah ARN dengan aplikasi luas dalam riset, kedokteran dan bioteknologi.
Selain di bidang kedokteran, penggunaan CRISPR juga diterapkan di bidang pangan. Tanaman coklat memerlukan kondisi khusus untuk dapat tumbuh. Itu sebabnya lebih dari separuh pasokan coklat dunia berasal dari dua negara di benua Afrika, Pantai Gading dan Ghana. Sebagai dampak perubahan iklim, tanaman coklat diprediksi akan musnah pada tahun 2050. Untuk itu Myeong-Je Cho, dari Innovative Genomics Institute, Berkeley, Amerika Serikat, menggunakan teknik CRISPR untuk mengubah gen tanaman coklat agar mampu bertahan dalam perubahan iklim.
Kita perlu belajar banyak dari bakteri untuk menyelamatkan dunia ……………. dari kehilangan coklat.