31 Desember 2018

Tahun Perpisahan

Jikalah bisa diringkas, barangkali kata yang tepat untuk mewakili tahun ini adalah perpisahan.

Teman, sahabat, rekan, kerabat. Kabar beruntun yang menyadarkan bahwa kematian senantiasa demikian dekat.

Perpisahan terkadang berupa kematian atau semata kepergian satu dua orang menuju tempat yang lebih tinggi. Semoga dalam rangka mengabdi dan menebar sebanyak-banyaknya manfaat.

Tahun ini menggerakkan kembali jemari untuk menuliskan gagasan melalui berbagai media.

Maka saya berharap untuk berpisah. Berpisah dengan diri yang kerap iri dan bangga diri. Berpisah dengan keraguan, kemalasan, ketakutan untuk meniti jalan panjang perbaikan diri.

29 Mei 2018

Menantang Prasangka




To travel is to discover that everyone is wrong about other countries. Aldous Huxley



Belum lama ini saya melakukan perjalanan waktu. Di Xiamen, RRT, saya kembali ke masa belum ada internet. Pemerintah RRT memang beda. Di sini, Google, Facebook hingga Whatsapp diblokir. Padahal terakhir saya ke RRT setahun sebelumnya, saya masih bisa mengakses Whatsapp. Kondisi ini memaksa saya (mencari cara untuk) menikmati sungguh-sungguh apa yang ada di kota ini. Ribuan kilometer dari rumah, tak bisa melihat dan mendengar langsung polah dan celoteh si kecil. Seorang teman kemudian memperkenalkan saya dengan VPN untuk kemudahan akses internet.


Saat saya bersiap pergi ke Xiamen, jarang yang tahu atau pernah mendengarnya. Tidak seperti Shanghai atau Beijing misalnya. "Hah? Xiamen? di mana itu?" Saya sendiri tak punya gambaran seperti apa. Tidak seperti Xian dengan Terracota atau Macau dengan kasinonya. Saya tidak tahu apa yang akan saya hadapi di Xiamen. Maka saya berbekal prasangka berdasarkan pengalaman-pengalaman saya sebelumnya.




Yang paling menarik dari Xiamen (dan yang membuatnya berbeda dari kesan saya tentang RRT pada umumnya) adalah kebersihannya. Di sini mudah sekali menemukan toilet gratis. Saat saya ke Shenzen beberapa tahun lalu, pengalaman di toilet umum memberi kesan buruk, begitu pula saat di Xian. Namun ternyata Xiamen berbeda. Selain itu tidak sulit menemukan anak muda yang suka rela membantu komunikasi dalam bahasa Inggris ketika kita terhambat berkomunikasi dengan penduduk lokal. Saya yang hanya tahu "Xie xie, mei yao, dan cha" bisa sedikit bernafas lega selain mengandalkan bahasa rimba. Dengan kata lain, Xiamen cukup ramah bagi wisatawan internasional. 

Restoran halal

Menu tinggal tunjuk gambar.


Begitu pula, jika anda seorang muslim yang mencari tempat makan halal. Tidak terlalu sulit menemukan restoran halal di Xiamen. Di tempat saya menginap saja ada sekitar tiga tempat yang dapat dicapai dengan berjalan kaki (baca: sambil melihat-lihat kota). Di sebelah masjid Xiamen bahkan ada toko halal.




Masjid Xiamen


Bagian dalam Masjid Xiamen


Iqra sampe sini. Semoga pahalanya senantiasa mengalir.
Al Quran dwi bahasa
Masjid Xiamen terletak di pusat kota, tepi jalan dekat Zhongsan Lu yang merupakan kawasan perdagangan. Saat saya tiba di sana, sedang ada serombongan turis lokal yang berfoto-foto. Seorang ibu lalu mengucap salam, sementara seorang bapak menawarkan menjadi fotografer.


Penyewaan sepeda
Sepeda pake hijab.
Seperti jamak di negara-negara Eropa, di sepanjang jalan ada fasilitas sepeda yang bisa dipinjam dengan memindai QR code menggunakan aplikasi di ponsel. Tapi satu hal yang agak unik, di sini trotoar dipergunakan oleh kendaraan dengan bebasnya. Tidak jarang, saat berjalan di trotoar, pejalan kaki diberi klakson oleh sepeda motor yang turut melintas. 


Setiap hari ada mobil penyemprot air.

Policing office. Kantor kebijakan?


Kerang mutiara.


Tutorial menyeduh teh,


Jemur di jalan raya. 


Di sini bala-bala dijual di gedung bertingkat.
Berbelanja di kawasan Zhongsan Lu cukup menyenangkan, sayang saya belum sempat menjelajah lebih lama. Modelnya mengingatkan saya pada pasar muslim di Xian.Sebagian besar barang yang dijual berupa teh dan asesorisnya. Tapi sedikit sekali menemukan toko souvenir di sini.


Penuhnya penumpang ke pulau Gu Lang Yu



Tempat favorit untuk foto pernikahan

Salah satu tujuan wisata di Xiamen adalah pulau Gu Lang Yu. Sebuah pulau yang unik karena tidak diperkenankan adanya kendaraan bermotor kecuali mobil wisata. Satu-satunya cara mencapai pulau adalah dengan menggunakan kapal feri dengan durasi perjalanan sekitar 10 menit. Sementara senja tiba, ada pilihan feri dengan rute tempuh yang lebih singkat. Tak terasa baru naik sudah sampai.



Ada nabati di sini

Nasi kuning
Xiamen adalah titik perdagangan internasional. Produk-produk makanan Indonesia pun saya temui di sini. Sayang saya baru menemukan restoran Indonesia menjelang pulang. 


Makanan halal di pesawat.
Oya tentang maskapainya, Xiamen Air ini agak berbeda saya rasa. Saat kepulangan, makanan yang disajikan untuk seluruh penumpang adalah makanan dengan label halal. Kalau anda anggota Sky Team Elite, ada perlakuan yang agak berbeda saat naik maskapai ini. Sekedar air mineral dan koran sih. Ya setidaknya tidak saya temui di maskapai lain. 

Pada akhirnya, semua prasangka saya buyar. Xiamen berbeda.

Jika anda berfikir untuk pergi ke RRT tapi belum tahu ke mana, barangkali Xiamen adalah tempat yang bagus untuk memulai kesan pertama.

29 Januari 2018

Serupa Tapi Tak Sama

Saya sedang menelusuri lini masa Facebook saya ketika tiba-tiba saya mendapati sebuah tautan yang dibagikan seorang teman. Saya tertarik melihat judul tautan tersebut, karena membuat saya mengira tulisan sayalah yang dibagikan. Pasalnya judul tautan tersebut sangat mirip dengan judul tulisan saya di forum yang berbeda.

Ini tautan yang dibagikan oleh teman saya.

Ini tulisan saya.

Serupa judulnya tapi tak sama isinya. Itu yang membuat saya sempat mengira itu tulisan saya, tapi ternyata bukan.

Mungkin seperti aku mengira kamulah orangnya, ternyata ...

18 Januari 2018

Mereka (Ulang Peran) yang Tak Terlihat

Belum lama ini, sebuah kontroversi (kembali) mengemuka. Isu lama sebetulnya, tentang pembagian kompetensi antar tenaga kesehatan. Seorang dokter menyarankan agar tidak menanyakan penggunaan (suatu) obat pada apoteker. Ya, entah kenapa isu ini selalu berulang. Terkadang dari sisi yang menyoroti dokter dispensing, terkadang dari sisi yang lain. Mungkin tidak akan ada titik temu, kecuali diambil dari sudut pandang keberpihakan pada pasien.

Dalam sebuah acara promosi kesehatan pada masyarakat, ketika segmen yang menjelaskan tentang seluk-beluk obat generik, profesi apoteker tidak disinggung. Memang kemudian muncul pertanyaan, yang dipermasalahkan itu 'pesannya' atau 'pembawa pesannya'? Jika pesan yang disampaikan tepat sasaran, tidak masalah siapa yang menyampaikannya bukan?

Sebuah buku promosi kesehatan sekolah, halaman 4 berbunyi “Petugas kesehatan baik sebagai pegawai negeri, pegawai pemerintah daerah, pegawai BUMN maupun swasta yang menyelenggarakan pelayanan kesehatan, Rumah Sakit, Puskesmas, atau Balkesmas, Poliklinik atau praktek swasta adalah juga sekaligus merupakan petugas Promosi Kesehatan atau Promotor/Pendidik Kesehatan. Dokter, dokter gigi, perawat, bidan, petugas di ruang obat atau apotek dan sebagainya, dalam tugas melayani pasien sehari-hari berkewajiban untuk menyampaikan informasi kepada pasien atau yang dilayani (klien) terkait dengan penyakit atau masalah kesehatan yang dialami oleh klien tersebut.“ Betapa profesi apoteker sungguh-sungguh nyaris tidak terlihat.

Saya pernah membaca sebuah artikel yang ditulis oleh seorang anggota Komisi IX DPR, Zuber Safawi, SHI (dari gelarnya sih nampaknya bukan orang kesehatan) yang berjudul “Mencari Solusi Problem Tenaga Kesehatan”. Artikel ini membahas tentang tenaga kesehatan tapi tak satu pun menyebut kata ‘apoteker’ atau ‘farmasis’. Saya jadi agak sedikit malu untuk mengaku sebagai tenaga kesehatan.

Insiden-insiden ini akan terus berulang saya kira. Barangkali apoteker adalah salah satu profesi yang tak kasat mata. Serupa dengan perancang arah di bandara atau penerjemah elit di PBB seperti diulas David Zweig di bukunya Invisibles: Celebrating the Unsung Heroes of the Workplace.

Salah satu cara untuk menyikapi fenomena ini barang kali dengan menulis. Sehingga apoteker menjadi lebih dikenal, tak hanya ketika ada insiden yang kurang mengenakkan, tapi karena memang peran dan fungsinya dibutuhkan oleh masyarakat.

Maka saya kembali memulai menulis. Menyuarakan pandangan dari mereka yang tak kunjung bersuara. Beberapa tulisan saya bisa dilihat di farmasetika.com tentang APA, tentang hubungan resistensi antibiotik dan reformasi birokrasi, juga bagaimana apoteker pun punya peran dalam ranah yang boleh jadi bukan domain aslinya. Oh ya, saya juga menulis tentang pengembangan kosmetika untuk Asia dan cara lain memahami masalah di Geotimes.

07 Januari 2018

Belajar dari Sistem Imun Bakteri untuk Menyelamatkan Dunia



Kasus difteri yang kembali mewabah mendorong pemerintah memasukkan vaksinasi difteri ke dalam program nasional. Saat kita melakukan vaksinasi seperti difteri, imun tersebut tidak diwariskan sehingga jika kita ingin agar anak kita juga kebal, kita harus melakukan vaksinasi juga kepadanya.
Sementara bakteri telah selangkah lebih maju, ketika ia mampu melindungi diri dari virus, ia juga mewariskan kemampuannya ketika berkembang biak. Banyak yang bisa dipelajari dari bakteri, salah satunya adalah bagaimana bakteri mengembangkan sistem imun yang sangat efektif dalam menghadapi infeksi virus.
Saat virus menyerang bakteri, bakteri menangkap potongan Asam Deoksiribo Nukleat (ADN) dari virus lalu membuat segmen ADN yang memungkinkan bakteri untuk mengingat virus ini. Ketika virus menyerang kembali, bakteri akan memproduksi segmen Asam Ribo Nukleat (ARN) dan kemudian memotong ADN virus sehingga virus menjadi tidak berdaya.
Penyuntingan gen adalah sebuah teknik untuk menambahkan, memindahkan, atau mengubah materi genetik dalam ADN suatu organisme. Teknik terbarunya dikenal dengan nama CRISPR-Cas9, singkatan untuk Clustered Regularly Interspaced Short Palindromic Repeats and CRISPR-associated protein 9. Teknik ini lebih cepat, murah, akurat dan efisien dibanding teknik lain yang sudah ada serta dapat menangani beberapa gen sekaligus.
Tim dari Universitas Harvard dan MIT, yang dipimpin oleh Feng Zhang, merancang CRISPR-Cas yang mampu melakukan mutasi tanpa merubah ADN. CRISPR-Cas13, mampu mengubah ARN yang akan menjadi basis sintesis protein. Tujuannya adalah memperbaiki sejak awal gen yang dapat menimbulkan penyakit. Teknik ini didasarkan pada protein Cas13, yang mengarahkan aktivitas deaminasi adenosin ke inosin oleh ADAR2 (adenosine deaminase acting on RNA type 2).
Sistem ini diberi nama REPAIR (RNA Editing for Programmable A to I Replacement), yang dapat digunakan untuk memodifikasi urutan ARN yang mengandung mutasi patogenik tanpa perlu mengubah ADN. REPAIR adalah platform menjanjikan untuk mengubah ARN dengan aplikasi luas dalam riset, kedokteran dan bioteknologi.
Selain di bidang kedokteran, penggunaan CRISPR juga diterapkan di bidang pangan. Tanaman coklat memerlukan kondisi khusus untuk dapat tumbuh. Itu sebabnya lebih dari separuh pasokan coklat dunia berasal dari dua negara di benua Afrika, Pantai Gading dan Ghana. Sebagai dampak perubahan iklim, tanaman coklat diprediksi akan musnah pada tahun 2050. Untuk itu Myeong-Je Cho, dari Innovative Genomics Institute, Berkeley, Amerika Serikat, menggunakan teknik CRISPR untuk mengubah gen tanaman coklat agar mampu bertahan dalam perubahan iklim.
Kita perlu belajar banyak dari bakteri untuk menyelamatkan dunia ……………. dari kehilangan coklat.