13 Agustus 2014

Ingin Kuliah Lagi


You made me insecure, told me I wasn't good enough
But who are you to judge.
When you're a diamond in the rough
I'm sure you got some things
You'd like to change about yourself
But when it comes to me
I wouldn't want to be anybody else

Na na na na na na na na na na na na na
Na na na na na na na na na na na na na
I'm no beauty queen, I'm just beautiful me

Na na na na na na na na na na na na na
Na na na na na na na na na na na na na
You've got every right to a beautiful life, come on

Who Says - Selena Gomez

Sesuatu yang besar.
Mungkin itu yang terpikir bila mendengar nama ibukota negara ini. Ayam, pepaya, durian dan sebagainya yang bila dilekatkan nama Bangkok, yang terlintas adalah ukuran yang besar. Lalu mengapa saya terpikir untuk kuliah di sana?

Secara kultural, Thailand rasanya memiliki kemiripan dengan Indonesia. Suasana, infrastruktur, dan kondisi sosial yang relatif serupa. Sehingga dengan demikian, mahasiswa Indonesia yang kuliah di Thailand relatif akan lebih mudah menerapkan ilmu yang didapat saat pulang ke tanah air. Karena kondisinya tidak jauh berbeda, dibandingkan misalnya para mahasiswa yang menuntut ilmu di Eropa atau Amerika.

Sementara kuliah di Eropa atau Amerika sebenarnya memang sungguh menggoda. Tapi saya ga mau dicuci otak infrastruktur untuk menerapkan ilmu, rentangnya jauh berbeda. Seperti perbedaan aku dan kamu. Bukan hal yang buruk memang. Banyak hal yang bisa didapat dari pengalaman di lingkungan yang berbeda dengan negeri sendiri.

Saya teringat kisah Caroline Sacks di bukunya Malcolm Gladwell, David and Goliath. Sacks memiliki dua pilihan saat itu, diterima di Maryland atau Brown. Ia tidak memilih Maryland. Dengan peringkat kesekian dan ada civitasnya yang menjadi pemenang Nobel, Maryland cukup prestisius saya kira, walau memang tidak seperti (seterkenal) Brown. Jargon yang diusung Maryland adalah "Fearless". Saya melihatnya unik untuk sebuah institusi penuntut ilmu. Belum lama ini saya berbincang dengan seorang dosen, bercerita bahwa pekerjaannya adalah menjual ide, ia bahkan bisa menciptakan pekerjaan sendiri.

Kembali ke Sacks, Gladwell berargumen bahwa, tidak selalu, yang terbaik adalah pilihan terbaik, untuk semua orang. Pada kasus Sacks, pilihannya pada Brown mengubah ia menjadi ikan kecil di kolam berisi ikan ikan besar. Secara akademik, ia merasa tertinggal dari kawan-kawannya. Ia melepas kelas sains, yang dulu sangat diminatinya. Mungkin cerita akan lain bila ia memilih Maryland. Mungkin.

Saya masih sering bingung bila misalnya ditanya apakah saya salah jurusan saat kuliah. Dibilang tidak, tapi kok ya ilmu-ilmu farmasi saya seperti begitu volatil, dibilang iya pun, kok ya saya jatuh cinta sekali sama (seseorang yang berkecimpung di) bidang ini. Lalu kemudian saya menemukan bidang ini. Farmasi Sosial. Ilmu yang memelajari aspek sosial bidang farmasi. Inikah passion saya?

Farmasi sosial adalah bidang ilmu yang belum banyak berkembang di Indonesia sepertinya. Di luar negeri pun, yang banyak saya temukan adalah kampus kampus Amerika. Tapi bidang ini menarik, dan tentunya sangat relevan dengan pekerjaan saya saat ini. Dalam merumuskan kebijakan, pertimbangan yang ada tidak selalu perhitungan ilmiah, aspek sosial juga perlu masuk dalam rumus.

Salah satu kampus di Thailand menawarkan program ini, dengan peluang beasiswa pula. Maka saya pun mencoba. Walau pun sepanjang proses ada beberapa yang menjadi pertimbangan.

Situasi politik di Thailand kerap diwarnai kudeta. Dengan kondisi dalam negeri yang cukup sering bergejolak, apakah negeri itu dapat menjadi tempat belajar yang nyaman? Tapi sudah ada contoh di tempat kerja yang menempuh studi di kampus itu, sepertinya baik-baik saja.

Selain itu secara kultural, bahasa Inggris bukan menjadi bahasa yang umum digunakan. Bahkan di lokasi pusat perbelanjaan sekalipun. Bukankah ini menjadi potensi hambatan?

Hmm... Sampai saat tulisan ini ditulis, belum ada keputusan apakah pengajuan saya diterima.

Dan sekarang, saya malah belajar bahasa Spanyol.