12 Agustus 2023

Dua Negara, Tiga Kota


 ¨Man can live under any climate if he will only adapt himself to its requirements and conditions.¨ 

(Jose Rizal)

 

Soekarno Hatta, September 2021.

 

Takut.

Terus terang itu hal yang terus singgah di benak saya menjelang keberangkatan kuliah di Eropa. Tapi di situlah seninya perjalanan. Melangkah saja. Maka kamu akan melewatinya juga. Ternyata.

 

Mungkin karena pikiran ke mana-mana, saat menuju ruang tunggu, koper kabin saya tertinggal setelah melewati imigrasi. Biasanya saya hanya bawa ransel ke kabin.


Maka saya bergegas kembali melawan alur penumpang, menuju pemeriksaan keamanan. Bagasi saya ada di sana menanti majikannya. Petugas pun menanyakan beberapa hal untuk memastikan koper itu milik saya. Malang, ulekan harus tertahan di pemeriksaan keamanan. Menurut petugas, barang itu harus masuk bagasi. Saya akhirnya merelakan itu untuk ditinggal. Thermo gun juga sempat menjadi permasalahan, meski akhirnya diperbolehkan.

 

Saatnya boarding dengan Turkish Airlines. Saya sempat berfikir untuk menulis catatan tentang film-film yang saya tonton di penerbangan-penerbangan panjang. Mungkin kelak saya akan menuliskannya. Kali ini saya menonton Underworld dan Pinokio. Video keselamatan maskapai ini dibuat dalam dua bahasa tapi masing-masing bahasa diputar sendiri sehingga durasinya jadi lama. Makanannya ... Hmm .. saya kira saya sudah pernah menemukan yang lebih baik.

 

Barangkali efek pandemi, di bandara Istanbul saya menemukan sajadah sekali pakai. Di bandara ini saya menyadari bahwa Turki punya istilah sendiri untuk waktu-waktu shalat. Tidak seperti Indonesia yang menyerapnya dari bahasa Arab. Saat di Bologna, saya berkesempatan bertanya tentang ini pada teman dari Yaman yang pernah kuliah di Turki. Ia membenarkan. Adaptasi bahasa Turki terjadi di hampir semua lini.



 

Sampai di Italia.

Benak saya masih dipenuhi berbagai kemungkinan tidak menyenangkan. Saya teringat kisah Aray dan Ikal di Edensor yang terpaksa terdampar kedinginan karena ditolak masuk oleh pemilik apartemen. Seperti biasa, pikiran saya sudah terbang ke sana kemari membayangkan skenario-skenario terburuk. Bagaimana kalau dia menolak saya dan teman sekamar karena belum membayar sewa dan jaminan misalnya?

 

Alhamdulillah. Putri land lady ternyata sangat baik hati. Saat kami tiba, ia membuka pintu seraya memandangi kami dan deretan koper-koper. Hari pertama kami sudah membawa seorang gadis singgah ke apartemen. Besoknya kami mampir ke toko sebelah dan sudah langsung menemukan beras.

 

Sebuah awal yang baik sepertinya.


 ***


Bologna adalah ibukota provinsi Bologna dan region Emilia-Romagna di Italia. Berada di antara lembah Po dan bukit Apenina. Dulu di daerah ini berkembang agrikultur, perdagangan dan produksi anggur. Sekarang menjadi satu dari kota Italia dengan jumlah usaha makanan terbanyak. Makanan khas Bologna antara lain tortellini, tagliatelle, ragu, dan mortadela.

 

Yang jarang dijumpai di lain kota, ada atap sepanjang lebih dari 40 km yang memungkinkan pejalan menikmati Bologna dalam segala cuaca. Di sini ada universitas tertua di dunia Barat dan salah satu sentra otomotif utama di Italia seperti Ducati, Ferrari, Lamborghini dan Maserati. Philip Morris juga membangun pabrik di sini.

 

Industri farmasi di Italia kebanyakan berbasis keluarga, mungkin seperti Kalbe dan Sanbe di Indonesia. Menurut Aldo Braca, presiden dan CEO CDMO, BSP, industri farmasi global lahir di Italia. Farmitalia Carlo Erba dan Lepetit adalah salah satu pionir, namun tidak banyak sokongan dari pemerintah sehingga tidak dapat tumbuh sepenuhnya. Banyak pemain skala global seperti Pfizer dan Roche, yang terkait, sedemikian rupa, dengan dua perusahaan ini.

Basilica San Petronia setinggi 45 meter terdiri dari separuh kayu separuh marmer. Pembangungannya dimulai pada tahun 1390 dan berlangsung beberapa abad. Pada tahun 1514, bangunan ini diperkirakan akan lebih besar dari Basilica San Pedro di Roma. Karena alasan tersebut, pemerintah saat itu menghentikan proyek ini untuk mempertahankan basilika terbesar tetap ada di Roma. Bangunan ini lalu selesai dibangun pada 1659 dengan menyisakan jejak-jejak interupsi.


 ***

Saat itu Green Pass masih diterapkan. Beberapa ruang publik hanya dapat diakses jika kita dapat menunjukkan sertifikat vaksin atau hasil tes swab PCR/rapid. Mereka menyebutnya tamponi, berlaku selama 2 hari, seharga 15 Euro. Saat di Indonesia saya paling malas daftar tracing meski kadang ada kontak sedemikian rupa.



Kondom hingga ganja dapat dibeli di mesin penjual mandiri dengan Tessera Sanitaria atau semacam kartu BPJS.

 

  
Iklan rukyah

Alat penghitung jumlah sepeda yang melintas


Pose depan kampus
Bologna adalah salah satu kota dari perjalanan saya menempuh program master. 
Dua negara, tiga kota. Barang kali itu yang akan menjadi judul catatan perjalanan ini.