27 Oktober 2009

Perjuangan Menjadi "The Thirteenth Pharmacist"

Hari pertama perjalanan ke kampus farmasi tersayang. Tiba sekitar pukul 8. Suasana Jatinangor telah cukup banyak berubah. Gerbang kampus pun dipindah tak lagi di tempat sebelumnya.



Memasuki gerbang kampus, berpapasan dengan dua gadis berbaju kurung, dari arahnya datang, bisa ditebak kuliah di fakultas apa. Lewat di FK dan FKG, terlintas ciri khas mahasiswa-mahasiswi kedok, baik kedokteran atau pun kedokteran gigi. Farmasi bawah, Pakilun MIPA, melewati Geologi, Kimia Sudah Dekat.

Saat tiba di gedung D6 sedang jadwalnya UTS jadi sepi deh. Masuk ke ruang TU, ada dua professor sedang mengobrol, langsung saja menuju A Tedi. Tak perlu menunggu lama, urusan pun selesai. Jadi jalan-jalan sebentar melihat-lihat kampus. Wah, Matematika dan Statistika sudah punya gedung sendiri. Berkeliaran di lantai 2 dan 3 D6, mengurai nostalgia di antara ruang kuliah dan laboratorium. Lab TI, haha.. ketika pernah iseng meng-copy daftar nilai seluruh angkatan, serta mengintip nilai praktikum fitokimia sebelum resmi dikeluarkan. Menyeruaklah kenangan-kenangan itu sembari melanjutkan perjalanan pulang turun gunung. Menebar pandang ke segala sudut kampus penuh kenangan. Wah Masjid Nurul Ilmi tampilannya beda lho. Lapangan dekanat MIPA, sudut kecil di Fasa, Masjid Fisip, dan yang tak boleh tertinggal, the legendary Tanjakan Cinta.



Sebelum pulang mampir ke mallnya Jatinangor. Bookshopping therapy. Nemu bukunya si Ikal Andrea Hirata, The Science of Business. Fiuuh, jadi sempat bertanya-tanya, ini orang yang sama yang nulis Laskar Pelangi sama Sang Pemimpi? Banyak novel, kayanya novel lagi booming sekarang. Jadinya beli Torey Hayden.
Mampir juga di Masjid IPDN. Tak lama menunggangi Elang untuk berhenti di Leuwipanjang. Pulang.

Lalu Teman Sejati maksudnya apa?
Maksudnya adalah "Tebar Cahaya Iman Sejukkan Jatinangor" Setuju?

Hari kedua

Setelah sukses mencairkan honor tulisan yang nyaris hangus, saya bergegas bergabung dengan Warga menuju kota. Perjalanan di bis kota sedikit banyak menggoreskan serpihan sesal di hati karena meninggalkan jadwal di High School Pharmacy. Tapi bagaimana lagi, hidup adalah pilihan. Lagipula manusia bukan amuba yang bisa membelah dirinya menjadi dua. Memilihlah, dan bertanggung jawab atas pilihan yang diambil.

Bertemu kenek bis yang membuat saya terkesan karena ia mengembalikan uang saya yang katanya kelebihan. Uang ongkos yang mestinya cuma dua ribu, saya beri tiga ribu. Lalu ia mengembalikan seribunya. Wew.. jarang-jarang kan ada kenek kayak gini. Dulu bahkan pernah (sering deh) ongkosnya dimahal-mahalin. Lha ini, cuma kelebihan seribu dibalikin. Bagaimana tidak membuat saya bertanya-tanya.

Sampai di tujuan, ketemu dua adik kelas. Bobi dan seorang lagi yang cuma kenal mukanya. Belakangan saya tahu namanya Ana, entah apa nama panjangnya, yang jelas bukan Anna Althafunnisa atau aaaannnnaaaa. Berbincang sambil menunggu giliran. Sedikit banyak menyinggung soal idealisme. Iya sih, idealisme tidak bisa dimakan. Jadi buat apa coba idealisme dipertahankan? Meski idealnya tidak seperti itu, tapi toh dunia berjalan dengan caranya sendiri. Seperti kata Ceu line Dion, That's The Way It Is. Itulah sebagaimana mestinya. You may not like it, but that is the way it is. Fiuuh.. whatever lahm yang jelas saat ini mesti mencari kekuatan untuk melebihi 50 orang.

Btw, Hari ini Hari Blogger Nasional, sudahkah mampir ke blog saya?
Hmm... Tulisan kaya gini dibilang menginspirasi?

Nantikan episode selanjutnya dari Perjuangan Menjadi "The Thirteenth Pharmacist"

24 Oktober 2009

Dunia Cinta Indonesia

Sedikit geleng-geleng kepala ketika beberapa waktu lalu mendapati karya Peter Fennema yang direkomendasikan teman-teman di FB. Wow, ada bule yang ngefans sama lagu-lagu Indonesia dan mahir membawakannya pula. Pelafalannya pun nyaris seperti orang Indonesia sendiri. Keren lah. Dari situsnya Peter, nemu juga situs ini, yang akhirnya merujuk ke situs ini. Sebagian dari tanda cinta warga negara lain pada Indonesia.
Bukankah mencerahkan? Ketika mengetahui bahwa di muka bumi ini ada warga negara lain yang memiliki ketertarikan bahkan mencintai Indonesia sedemikian rupa.
Jika warga dunia mencintai Indonesia, adakah alasan untuk warganya sendiri untuk tidak mencintainya pula?



Lalu bagaimana cara anda menunjukkan atau membuktikan cinta pada Indonesia? 

Kulihat Ibu Pertiwi
sedang bersusah hati
air matanya berlinang

01 Oktober 2009

Klaim Budaya, Hak Cipta dan Plagiarisme

Pada tanggal 2 Oktober 2009 UNESCO (United Nations Educational, Scientific and Cultural Organization) akan menetapkan batik sebagai warisan budaya dari Indonesia (the world cultural heritage of humanity from Indonesia). 
Unesco mengakui bahwa batik sebagai warisan budaya tak benda yang dihasilkan oleh Indonesia. Menurut Gubernur Jawa Barat, Ahmad Heryawan, sebagai warga Indonesia, masyarakat Jabar sangat pro batik dan sudah tentu mendukung seni batik sebagai bagian dari budaya, khususnya dalam berbusana karena batik merupakan warisan budaya asli Indonesia yang perlu dijaga dan dilestarikan. (okezone.com)
Pengakuan UNESCO ini semestinya merupakan langkah berkelanjutan dari pemerintah dalam upaya melindungi warisan budaya bangsa. Menteri Kebudayaan dan Pariwisata Jero Wacik mengatakan bahwa sejak 2003 kebudayaan Indonesia telah diakui oleh UNESCO dengan diraihnya sertifikat wayang sebagai warisan budaya tak benda dan keris sebagai warisan budaya dunia dari Indonesia. Selanjutnya, pemerintah terus memperjuangkan satu per satu karya budaya dengan menominasikan angklung sebagai warisan budaya dari Indonesia. (Antara).

Antara Indonesia dan Malaysia
Pertengahan November 2008 lalu, saya sempat terlibat dalam sebuah kegiatan akademis di sebuah kampus swasta di Malaysia. Sehingga sedikit banyak menjadi bagian dari denyut kehidupan di sana, khususnya di Kuala Lumpur.

Sebagai negeri tetangga satu rumpun, suasana di Indonesia dan Malaysia tak banyak berbeda, selain pada beberapa hal saja. Dengan jumlah penduduk hanya sepersepuluh penduduk Indonesia, Malaysia cukup leluasa mengatur kekayaan negaranya untuk kesejahteraan rakyat. Infrastruktur kota seperti jalan raya dan trotoarnya terbilang nyaman, lebar trotoar di sini bahkan bisa nyaris sama dengan lebar jalannya sendiri yang menunjukkan bahwa kenyamanan pejalan kaki begitu diperhatikan. Selain itu, nyaris di setiap kedai atau toko, selalu terdapat bendera negara. Seakan ingin mengingatkan setiap pengunjung sedang berada di mana. Bagaimanapun, negara satu rumpun yang merdeka pada bulan yang sama, hubungan Indonesia Malaysia sering mengalami pasang surut.
Isu klaim budaya ini mengemuka di antara kasus-kasus lain seperti penganiyayaan TKI dan pelanggaran batas wilayah. Sebenarnya agak rumit menyikapi persoalan klaim budaya ini, karena terdapat kemungkinan tumpang tindih antara budaya Malaysia dan Indonesia, yang memang berasal dari satu rumpun. Belum lagi jika mengingat bahwa terdapat cukup banyak keturunan Melayu di Malaysia yang merupakan keturunan orang Indonesia, baik dari suku Aceh, Padang, Sumatera Utara, Jambi, Palembang, Jawa, Madura, Bugis dan sebagainya.

Negara Pembajak?
Peribahasa mengatakan "Kuman di seberang lautan nampak, gajah di pelupuk mata tak nampak". Nasihat ini mengajari kita bahwa sebelum menuding keburukan orang lain, tengoklah sejenak wajah sendiri. Sebelum menuding memaki, sejenak lihat sekeliling, adakah keburukan yang sama dalam diri? Apakah Indonesia bukan Negara pembajak?
Studi IDC (International Data Corporation) menyebutkan bahwa tingkat pembajakan perangkat lunak di Indonesia sebesar 85% dengan potensi kerugian sebesar US$ 544 juta pada 2008. 'Prestasi' ini mengantarkan Indonesia pada posisi 12 dari 110 negara yang melakukan pembajakan di dunia (www.wartaekonomi.co.id). Amerika Serikat bahkan menempatkan Indonesia dalam daftar hitam pelanggar Hak atas Kekayaan Intelektual (HaKI) pada kategori ‘Priority Watch List’. Lembaga US Trade Representative (USTR) merilis laporan tersebut dalam tajuk ‘Special 301′ seperti dikutip detikINET (Mei, 2009).
Dan kita tentu tahu, bukan cuma perangkat lunak, tapi produk kreasi budaya seperti musik dan film tidak lepas dari pembajakan di negeri ini. Fenomena seperti ini telah berulang kali dikeluhkan oleh para pelaku seni di negeri kita. Menurut www.majalahtrust.com, sampai tahun 2003 saja, peredaran produk bajakan menyebabkan kerugian negara dari sektor pajak mencapai Rp 1,189 triliun dan kerugian industri rekaman bahkan sampai Rp 16 triliun. 
Seperti dilansir di portal berita Kompas.com pada tanggal 20 Agustus 2009, Data Departemen Perindustrian menunjukkan bahwa, 70 persen dari 32 produsen cakram optik yang beroperasi di dalam negeri, 22 di antaranya melakukan usaha pembajakan dengan jumlah produksi mencapai 365,76 juta keping di tahun ini.
Terdapat perbedaan antara karya seni budaya dengan karya cipta yang bersifat pembaruan teknologi. Secara terminologi, paten merupakan klaim terhadap pembaruan teknologi dan sebenarnya bukanlah hak untuk menggunakan suatu karya cipta, melainkan lebih pada hak untuk mengecualikan pihak lain untuk memanfaatkan karya cipta tersebut.
Menurut Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia, tidak ada paten untuk seni budaya. Karena jika masa berlaku paten suatu seni budaya telah habis, maka seni budaya tersebut dapat diklaim oleh siapa saja.

Bangsa yang Kreatif?
Tersinggungnya kita ketika ada pihak yang mengambil kekayaan budaya semestinya juga menyadarkan kita bahwa pengambilan hak cipta semena-mena itu menyakitkan. Bentuk penganiyayaan hak cipta ini wujudnya dapat bermacam-macam, salah satunya di bidang literasi adalah mengutip artikel seutuhnya tanpa mencantumkan penulis dan atau sumber. Sebagai bangsa yang kaya seni budaya, selayaknya kita memiliki kebanggaan dalam menciptakan konten yang baru dan segar dan bukan sekedar meniru atau bahkan menjiplak habis-habisan kreatifitas orang lain.
Apakah kita masih berani menyebut diri bangsa yang kreatif? Jika sempat berwisata ke toko-toko buku, berapa banyak judul atau desain sampul yang serupa dengan Ayat-Ayat Cinta atau Laskar Pelangi ketika novel-novel tersebut sedang 'booming'? Ketika ada suatu acara televisi yang digemari, stasiun TV lain segera berlomba membuat acara serupa. Mengapa kita melakukan pembajakan? Bukankah nenek moyang kita seorang pelaut, bukan bajak laut? Jangan sampai ada yang melemparkan ke wajah kita, ucapan ‘maling teriak maling’. Bagaimana menurut anda?