30 Agustus 2009

RUU Kesehatan : Regulasi atau Legalisasi Aborsi?

Apakah seorang kekasih suka mencabut nyawa kekasihnya?
(Pertanyaan nabi Ibrahim pada Tuhan)

Suatu ketika seorang remaja putri berkonsultasi pada saya tentang bagaimana dia baru saja mengkonsumsi sebuah obat sebanyak 9 pil (1 dimasukkan ke dalam (maaf) vagina dan 8 sisanya diminum secara berkala 1,5 jam dari jam 23.00 sampai sore). Ia melakukannya karena ingin mengugurkan kandungannya. Miris, cinta yang semestinya memberi kehidupan, malah merenggut kehidupan. Mungkin ini yang terjadi ketika cinta terlarang, meski pada fitrahnya sebagian besar orang mencintai kehidupan seberapa pun pahitnya. Namun demikian, dunia tak selalu hitam putih atau abu-abu, selalu ada alasan yang mendasari sebuah pilihan.
Sebenarnya tindakan yang dilakukan remaja tersebut adalah salah satu fenomena obat yang digunakan tidak sesuai dengan indikasi resminya. Obat yang digunakan adalah obat radang lambung sejenis hormon prostaglandin dengan efek samping yang dapat mengugurkan kandungan. Cara pemakaian yang salah dari obat tersebut dapat mengakibatkan hiperkontraksi (kejang yang berlebihan) pada rahim. Efeknya jaringan rahim dapat menjadi rapuh atau kram perut yang nyerinya bisa jauh melebihi haid biasa. Pada kasus yang parah, bahkan dapat menyebabkan rahim harus diangkat.
Obat ini termasuk golongan obat keras daftar G yang hanya boleh didapatkan dengan resep dokter, sayangnya di lapangan obat ini masih dapat dengan bebas diperjualbelikan tanpa resep. Obat ini salah satu obat yang sering digunakan pada praktek-praktek aborsi yang tidak aman.

Regulasi Aborsi
Praktek aborsi yang tidak aman selama ini sering menyebabkan kasus perdarahan yang berkontribusi pada tingginya angka kematian ibu di Indonesia. Untuk itu, perundang-undangan yang meregulasi masalah aborsi secara jelas diharapkan dapat menurunkan jumlah praktek aborsi yang tidak aman ini.
Saat ini DPR sedang membahas RUU Kesehatan untuk menggantikan UU Kesehatan no 23 tahun 1992. Perihal aborsi sebenarnya telah diatur dalam pasal 15 UU No. 23 Tahun 1992. Dalam UU ini, aborsi secara implisit dibolehkan bagi kasus-kasus yang secara klinis memang perlu diberhentikan kehamilannya dalam keadaan darurat, sebagai upaya untuk menyelamatkan jiwa ibu hamil dan atau bayinya. Ayat 2 pasal itu mensyaratkan bahwa tindakan medis itu hanya dapat dilakukan oleh tenaga kesehatan yang mempunyai keahlian dan dilakukan pada sarana kesehatan tertentu. Kewenangan untuk itu dilakukan sesuai dengan tanggung jawab profesi dan pertimbangan ahli, serta harus ada persetujuan dari ibu hamil yang bersangkutan atau suami atau keluarga. Sementara ayat 3 dari pasal itu menyatakan bahwa ketentuan lebih lanjut mengenai tindakan medis tertentu, sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 dan ayat 2, ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.

Amandemen
Amandemen UU Kesehatan diharapkan akan dapat menjelaskan hal-hal yang perlu dijelaskan lebih lanjut. Namun RUU Kesehatan ini dinilai masih memiliki banyak kelemahan sehingga menuai penolakan dari sejumlah elemen masyarakat.
Misalnya pada pasal 63 yang seolah membuka celah legalisasi aborsi. Dalam pasal 63 RUU itu dijelaskan bahwa praktek aborsi dapat dilakukan atas dasar indikasi kegawatan medis yang ditentukan oleh tenaga kesehatan berwenang. Dikhawatirkan penafsiran indikasi kegawatan medis ini bisa bermacam-macam sehingga perlu ada kejelasan mengenai indikasi kegawatan medis yang dimaksud. Sebagaimana dinyatakan dalam pasal 63 ayat 4 bahwa penghentian kehamilan yang bermutu, aman, bertangung jawab, diatur dalam UU tersendiri.
Ada kekhawatiran bahwa amandemen UU Kesehatan akan mendorong aborsi yang bukan dikarenakan alasan medis. Padahal menurut hasil musyawarah kerja nasional etik kedokteran III pada April 2001, aborsi hanya boleh dilakukan atas indikasi medis. Sehingga siapa pun tidak dibenarkan melakukan aborsi tanpa adanya indikasi medis.
Memaknai persoalan aborsi memang tidak semata perkara moral saja. Tetapi adakah alasan untuk pembenaran aborsi selain atas dasar indikasi kegawatan medis atau karena kegagalan kontrasepsi, atau pada korban perkosaan?
Pada RUU Kesehatan yang baru, aborsi dilarang kecuali berdasarkan adanya indikasi kedaruratan medis yang dideteksi sejak usia dini kandungan, baik yang mengancam nyawa ibu/janin yang menderita penyakit genetik berat dan atau cacat bawaan maupun yang tidak dapat diperbaiki sehingga menyulitkan bayi hidup. Keputusan tentang keadaan darurat ini ditetapkan oleh minimal dua dokter yang teregistrasi pada Konsil Kedokteran Indonesia dan memiliki surat izin praktik dan atau dokter yang merawat serta seorang psikolog dan tokoh agama. Pengguguran kandungan hanya boleh dilakukan dokter yang memiliki surat izin praktik dan telah memperoleh pelatihan khusus.
Dengan adanya amandemen UU Kesehatan, isu aborsi bukan untuk dilegalisasi melainkan untuk diregulasi. Perempuan wajib dilindungi dari praktek penghentian kehamilan yang tidak bermutu, tidak aman dan tidak bertanggung jawab sebagaimana pasal 63 RUU Kesehatan mengamanatkan hal tersebut kepada pemerintah. Serta perlu diupayakan usaha lain untuk menurunkan angka kematian ibu seperti konseling mengenai pelayanan kesehatan reproduksi pada perempuan. Regulasi aborsi dalam RUU Kesehatan bukan dimaksudkan untuk menghambat akses pelayanan kesehatan reproduksi bagi perempuan, melainkan untuk mengakomodasi hak-hak warga negara atas perlindungan kesehatannya, termasuk kesehatan reproduksi perempuan.
Menurut Pasal 60 ayat 1 dan 2, kesehatan reproduksi merupakan keadaan sehat secara fisik, mental & sosial yang berkaitan dengan sistem, fungsi dan proses reproduksi pada perempuan dan lelaki, yang mencakup sebelum dan sesudah melahirkan dan masalah kesehatan sistem reproduksi meliputi masa pertumbuhan sampai dewasa, kesehatan seksual dan kesehatan reproduksi setelah melewati usia subur.
Konten amandemen UU Kesehatan diharapkan menjadi perangkat regulasi aborsi dalam konteks kesehatan reproduksi perempuan di samping isu-isu lainnya dalam RUU tersebut. Namun, tersimpan celah yang memungkinkan pihak yang berkepentingan untuk memanfaatkan amandemen ini sebagai legalisasi aborsi. Regulasi aborsi diperlukan untuk menekan angka kematian ibu akibat praktek aborsi yang tidak aman dan tidak bertanggung jawab.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar