01 Oktober 2017

Belajar dari Aldi



Paska perang dunia kedua, dua Jerman bersaudara Karl dan Theo, pulang untuk mengelola toko kelontong ibu mereka di Essen. Pada tahun 1961, toko keluarga Albrecht itu berubah menjadi perusahaan modern, dengan inisial yang berarti Albrecht Diskont.
Jejaring supermarket Jerman, Aldi dan Lidl tengah memperluas jaringannya ke Amerika. Aldi, berencana memperluas ekspansi sebanyak 900 toko baru di Amerika Serikat. Lidl, ritel makanan terbesar ketiga di dunia, setelah Walmart dan Carrefour, juga berencana membuka sekitar 600 toko baru. 
Beberapa tahun terakhir, pesaing mereka telah mencoba peruntungan di luar negeri, namun hasilnya tidak begitu memuaskan. Walmart menutup ratusan tokonya di seluruh dunia sejak 2016, sementara Carrefour telah meninggalkan 19 pasar luar negeri, termasuk China. Namun, ketika Aldi dan Lidl memasuki pasar, biasanya mereka meraup kemenangan. Kini, di negara yang pertama kali menemukan supermarket, pertarungan akan menentukan nasib ritel makanan masa depan. 
Menurut situs ini, ini rahasia Lidl menjaga harga mereka tetap murah. Strategi utama Aldi dan Lidl adalah menyederhanakan pilihan, yakni dengan tidak menyediakan banyak pilihan. Tiap supermarket Lidl menawarkan paling banyak 2.500 produk, dibanding lebih dari 20.000 di supermarket Jerman pada umumnya. Sebagian produk bahkan merupakan merek sendiri yang dibuat secara khusus untuk Lidl yang jumlahnya dapat mencapai nyaris 90%. 
Prinsip ekonomis diterapkan dalam segala hal. Minimalisasi staff misalnya, hanya ada beberapa kasir dan operator forklift yang membawa palet baru. Tak ada yang membantu dengan kantong belanja atau mengumpulkan kereta belanja. Ini pun ditunjang dengan ukuran toko yang pada umumnya relatif kecil.
Fenomena Aldi dan Lidl ini tentu bisa menjadi pelajaran bagi kita ketika beberapa perusahaan besar seperti Seven Eleven dan Nyonya Meneer harus gulung tikar. Mengapa perusahaan-perusahaan itu mengalami yang demikian? Apa yang salah dalam strategi mereka?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar