13 Maret 2008

Kilas Balik Setahun Paska Kampus


Awalnya Biasa Saja


Banyak yang terjadi setelah berkemas meninggalkan kampus. Memang bukan kisah yang istimewa, meski berharap cukup bisa menjadi pelajaran. Hanya ingin memberi tanda agar setelah lebih dulu salah jalan, yang datang belakangan tak menempuh jalan salah pula. Hidup terlalu pendek untuk dihabiskan dengan belajar dari kesalahan sendiri. Maka belajarlah dari kesalahan orang lain. Tak memberi saran untuk mengikuti apa yang dijalani. Toh, tak menjamin apa yang dijalani ini suatu kebenaran. Menyesalkah saya? Hmm, Ya dan Tidak. Bukankah paramater kesuksesan dan kebahagiaan itu berbeda untuk setiap orang? Apapun, pilihan telah diambil, adalah wajar jika sebuah pilihan memiliki biaya kesempatan (opportunity cost) sendiri. Sesuatu yang waktu itu dipahami sebagai idealisme. Paling tidak bisa menjadi sesuatu untuk dibagi.

Semuanya dimulai seperti yang lain. Melamar ke beberapa perusahaan. Namun kemudian tidak lama, ada tawaran untuk bersama-sama mengelola sebuah usaha bersama, lebih lagi usaha tersebut sangat sesuai dengan profesi. Selain itu ada rencana pula untuk menggabungkan diri dengan sebuah usaha distribusi. Sayang setelah melalui proses beberapa lama, langkah ini harus berhenti di tengah jalan. Sekitar Ramadhan, saya kembali memulai dari awal. Sebuah biaya kesempatan telah ditunaikan.

Kembali menelusuri lowongan demi lowongan. Seperti memilih pasangan hidup atau memilih jurusan sewaktu UMPTN dulu. Buat saya pribadi, memilih profesi pun sedikit banyak seperti itu. Sebagaimana tidak “asal kuliah”, maka sekarang pun saya tidak berfikir pragmatis. Dan sedikit banyak, saya mengalami perdebatan internal tentang satu dua peluang kerja. Sesuatu yang menurut saya agak meragukan.

Ketika berkomitmen untuk tidak mendekati batas-batas tertentu, apa itu bukan membatasi diri? Pada mulanya berfikir begitu, lha wong yang biasa-biasa saja susah ini malah memperumit kriteria. Tapi kemudian berfikir bahwa ini lebih seperti jalur-jalur yang mengarahkan aliran air. Airnya sendiri dapat tetap mengalir deras, yang berubah hanya arah alirannya. Jadi buat saya ini adalah jalan yang lebih terarah. Saya hanya perlu mempercepat aliran airnya sehingga dapat mengalir lebih deras.

Dalam perjalanan, sempat terbawa ke dunia kepenulisan, dunia yang memikat minat saya sejak kecil. Awal ramadhan, tulisan pertama saya dimuat di surat kabar. Motivasi pun tumbuh, kemudian mulai aktif menulis dan mengirimkannya ke media-media, baik cetak maupun online. Tapi kemudian timbul pertanyaan, lalu bagaimana dengan gelar saya? Akankah diabaikan? Saya kembali berdebat dengan diri sendiri. Bukankah profesi ini tak semua orang bisa memasukinya? Apa artinya kuliah 5,5 tahun? Tapi bukankah pula pekerjaan kefarmasian itu pun salah satunya informasi obat, jika salah satu tulisan saya untuk menginformasikan obat ke masyarakat luas, bukankah itu artinya saya mengabdi di profesi saya juga? Hidupkah dari menulis? Tentu perlu waktu, tapi bagaimana selama proses itu? Dan waktu terus berjalan, manusia pun berpacu.


Terjatuh dari Langit


Kita tidak selalu bisa memilih apa yang terjadi, tapi kita selalu bisa memilih reaksi kita.

Apa yang anda lakukan jika semua yang telah anda bangun runtuh satu persatu di hadapan anda tanpa bisa anda cegah?

Saya gagal.

Ya, saya gagal

Ada masanya saat hampir setiap aspek hidup saya berada dalam masalah

Pertemuan rutin bermasalah, amanah tak punya, binaan tak ada, kualitas ibadah berantakan, kerjaan tetap belum punya, kerjaan sampingan belum bisa diandalkan, dan sekian masalah lain.

Hidup saya betul-betul berantakan waktu itu.

Dua lembar ijazah, pembinaan selama empat tahun, berbagai pelatihan, beragam buku yang saya baca, seakan nggak ada artinya lagi.

Semuanya kacau. Saya gagal di setiap apa yang saya lakukan. Saya berusaha mengubahnya, tapi tak ada yang benar-benar membaik. sebagian malah memburuk.

Kabar itu seakan menjelma tsunami yang menghanyutkan impian dan harapan

Karir saya berakhir bahkan sebelum sempat dimulai. Layu sebelum mekar

Tak lagi punya arah. Tak lagi punya alasan untuk berdiri kukuh

Sebodo amat, saya tak peduli lagi

Saat itu saya tahu, harapan adalah harta terbesar. Kita bisa kehilangan semuanya, tapi sebaiknya tidak kehilangan harapan.

Dengarkanlah permintaan hati yang teraniyaya sunyi

Berikanlah arti pada hidupku yang terlepas yang terhempas*

*Meminjam Lirik Permintaan Hati_Letto


Mencoba Bangkit dari Reruntuhan


Satu per satu saya berusaha bangkit merapikan diri yang tak lagi utuh. Berat, panjang dan sunyi.

Saya tak ingin jadi korban. Karena itu dari rumah, saya mengusahakan tiga pekerjaan sekaligus. Sedikit demi sedikit. lama-lama menjadi sakit. Sakit mata kelamaan depan komputer, sakit hati karena sering ditolak, sakit jiwa karena stresss. Hehehe..

Saya tak ingin jadi serigala. Saya tak ingin menghalalkan segala cara. Saya ingin melakukannya dengan cara terbaik yang saya bisa.

Sebenarnya semuanya akan lebih mudah jika benteng jiwa dalam keadaan prima. Tapi itu dia masalahnya, Konstruksi ruhani saya luluh lantak tak karuan. Bukan karena faktor lingkungan, tapi terutama karena diri sendiri.

Dan sekarang, saya hanya punya dua pilihan. Berbelok di tikungan berikutnya, atau menancap gas sekencang-kencangnya.




Tidak ada komentar:

Posting Komentar