18 September 2010

Ber-ibu Cerita

Seperti aku juga, ia anak kedua dalam keluarga.
Mungkin benar juga ucapan seorang teman, jadi anak tengah itu enak. Bisa merasa sebagai kakak, juga sebagai adik.
Ungkapan yang tepat untuk menggambarkan kami berdua mungkin ucapannya Gie. "Kita begitu berbeda dalam semua ... "

Sebagai seorang sanguinis (yang juga setiap hari menanak sangu), selalu ada stok cerita di benaknya. Cerita tentang riwayatku, juga cerita sehari-hari seperti cerita tentang polah anak tetangga sebelah. Ia bisa terus bicara, terkadang dengan topik yang melompat-lompat. Sementara saya yang flegmatis-melankolis hanya mengangguk-angguk sembari sesekali mengulum senyum.

Dunia kami terkadang begitu berbeda. Waktu saya minta doa sebelum presentasi kolokium, yang dikirimnya adalah SMS bertanya "kolokium teh naon?". Sementara saya hingga sekarang belum lulus juga uji identifikasi organoleptis (uji warna, bau dan rasa) bagaimana membedakan terigu dan sagu sehingga ketika ada pembeli selalu saja terbersit ragu.

Saya tak keberatan menonton ulang film-film lama di layar kaca, sementara beliau berkata "sudah pernah". Ia bisa betah mengikuti liuk-liuk alur sinetron yang berganti-ganti di televisi, sementara sampai saat ini hanya satu judul sinetron yang (dulu) saya ikuti benar -benar, yaitu Dewi Fortuna (tentu saja selain seri si Doel Anak Sekolahan).

Ia meraih gelar honoris causa di kalangan tetangga di bidang masak-memasak. Ibu-ibu tetangga sebelah kerap meminta petuah soal teknik mengolah rasa seperti para anak buah meminta arahan dan petunjuk atasannya. Sebagai salah seorang yang terbilang paling sering menyantap masakannya, makanan favorit saya adalah (jreng jreng jreng), telur setengah matang dan nasi bola. Makanan waktu kecil itulah makanan terenak di dunia yang bisa membuat saya serasa mendapat bintang jatuh seperti bila Yoichi di Born to Cook mendapatkan inspirasi.

Tapi bakat itu rupanya tak menurun pada saya. Dalam lidah saya reseptor rasa hanya standar saja, nyaris tak bisa membeda, tingkat kelezatan lontong sayur di pasar dengan yang di dekat gor sana. Entahlah, mungkin keistimewaan itu menitis dalam bentuk yang lain.


Ia satu-satunya wanita dalam keluarga, mendampingi kepala rumah tangga selama kira-kira tiga dasawarsa. Membesarkan tiga anak lelaki.

Masa pensiun tiba, maka untuk menopang ekonomi, ia membuka lapak, berisi keperluan sehari-hari dan makanan ringan seperti Gery Chocolatos dan kawan-kawannya yang menjadi kegemaran anak-anak tetangga.

Apakah yang bisa menjadi hadiah terbaik untuknya? Apakah doa? Bukankah yang pasti didengar adalah doanya untukku, bukan begitu? Apatah lagi jika anaknya masih menyisa jelaga di gubuk hatinya. 

Tak seperti dia, saya tak pandai mengurai seribu cerita. Tulisan ini pun mungkin tak genap seribu kata. Meskipun cerita-cerita itu tak kan cukup dirangkai satu-satu.

*ditulis sembari mendengarkan 'Doa untuk Ibu'-Ungu dan menikmati cemilan Gery Chocolatos

Tidak ada komentar:

Posting Komentar