11 Desember 2007

Mencoba Mengenggam Mentari



Bunuh, bunuhlah aku!
Kalau kau bisa silahkan saja
(Rumah Sakit)

Telah lama berselang ketika tertinggal dengan ritual membaca surat cinta, merapal kalimat-kalimat pelindung, dan menggenapi jatah latihan thifan, serta segenap aktivitas masa-masa di kampus tercinta lainnya. Ketika hari-hari menjadi terasa menyebalkan dan membingungkan. Tambah lagi tidak betul-betul paham tentang apa yang sedang terjadi sesungguhnya. Semata kurang optimal berusaha, ataukah pengujian kebulatan tekad, ataukah ujian kenaikan tingkat atau karena tumpukan tagihan dosa. Tapi jika ketenangan adalah ukuran keberkahan, tentu mudah saja untuk meraih kebahagiaan. Entahlah, one of the hardest days ...

Bagaimanapun, harus segera bangkit dari keterpurukan. Menata kembali rencana-rencana perjalanan. Merangkai kembali harapan, setelah belajar pada mata-mata bening dua gadis manis. Dengan senyum dan tawa bahkan pada hal-hal yang sederhana. Belajar memberi makna pada peristiwa, untuk lalu menjadikannya amunisi untuk berjibaku di malam terkelam. Belajar menerima dunia, membuka lebar jendela dan menghirup sebanyak-banyaknya kesegaran untuk jiwa. Lebih berfikir jernih, karena peluang seringkali mengetuk terlalu pelan.

Memulai awal baru, betapa nikmatnya menjadi mentari.
Ia akan selalu terbit setiap pagi.
Meski malam tadi begitu gelap dan dingin.
Ia akan senantiasa membawa ceria.
Memulai hari yang baru.

Karena bukankah kegagalan belum menjadi kegagalan ketika mewujud proses menuju sukses? Adanya sebuah kegagalan semu? Dan setiap peristiwa saling berkaitan mempengaruhi satu sama lain. Perubahan kecil saja dapat mempengaruhi dan memberi efek yang besar. Seperti urutan asam amino pada protein, atau teori angin puyuh yang dipicu kepak sayap seekor kupu-kupu. Mungkinkah ini terjadi? Konon, seseorang yang menjalani seperempat baya bisa mengalami sesuatu bernama krisis ¼ usia. Hmm, gejala-gejala itu cukup terasa. Tapi paling tidak cukup melegakan untuk mengetahui bahwa hal seperti ini merupakan hal yang umum terjadi.

Ketika tsunami terjadi di Aceh, terlihat masjid-masjid tetap berdiri kokoh di tengah reruntuhan. Inilah model bahwa beginilah seharusnya seorang yang memiliki prinsip. Saat yang lain tumbang terseret arus, ia akan tetap berdiri kokoh memegang prinsip hidupnya. Ia tak akan tergoda ikut korupsi meski sekelilingnya berbuat seperti itu. Ia tak akan menyontek, meski semua rekannya menganggap hal itu biasa. Ia akan berdiri di sana dan berkata dengan lantang : “Saksikanlah ... !”.

Prinsip hidup tersimbol dalam cerita ini. Beberapa orang berjalan bersama, di perjalanan bekal mereka mulai menipis. Di depan terlihat sebuah sumber mata air. Sayang ketika didekati ternyata airnya kotor. Seorang mendekat dan tidak tahan untuk tidak mengulurkan tangan dan minum dari sumber itu. Yang lain menahan diri dan melanjutkan perjalanan, berharap akan ada sumber lain yang lebih bersih. Tibalah di sumber mata air berikutnya, yang tak banyak berbeda dengan sebelumnya. Tiga orang lalu memutuskan untuk minum dan menetap di sana. Lalu rombongan melanjutkan perjalanan. Beberapa sumber mata air mereka temui dan satu demi satu rombongan mulai berkurang. Sementara ada seorang pengembara yang tetap terus berjalan, ia tak ingin meminum sumber-sumber air yang kurang bersih itu. Ia hanya ingin sumber air yang bersih murni. Bahkan jika ia mesti menggali sendiri sumber air itu. Ia masih terus berjalan, sampai kini.

“Apa yang lebih puitis dari menyampaikan kebenaran?” (Soe Hok Gie)

1 komentar:

  1. aha...ternyata fajar farmasi yang sering banget ngunjungin blog ane ya!

    pa kabar jar? lama ga ketemu, semoga suatu ketika kita ketemu lagi di lapangan pindad sana, hahaha...

    nice post jar, keep writing ya

    ku-linkkan blog mu di blog ku juga jar

    -rio-

    BalasHapus