06 Januari 2010

Apoteker Bukan Profesi Murah-an

Sebuah curhatan di sebuah situs mikroblogging menyinggung tentang akan naiknya biaya kuliah profesi apoteker di sebuah kampus. Kalau dipikir-pikir, memanglah biaya produksi seorang apoteker itu mahal. Itu baru biaya kuliahnya saja, belum lagi jika biaya tidak tetap juga diperhitungkan, juga biaya hidup, atau biaya yang sifatnya intangible.

Karena itu wajar jika ada yang berfikir untuk mengembalikan modal setelah menjadi apoteker. Wajar kan? Setelah mengeluarkan biaya yang cukup besar, lalu mengharapkan keuntungan yang besar. Remunerasi yang memadai, status sosial yang baik, jaminan hidup dan sebagainya tentu jadi idaman.

Saat ini, apakah para apoteker sudah dapat mencapai semua itu? Rasanya sulit untuk menjawab 'ya' dengan keyakinan penuh. Karena itu di milis ikatan mahasiswa farmasi sempat ada yang merasa perlu untuk bertanya "Masih perlukah apoteker di Indonesia?" Yang waktu itu saya jawab. "Tidak Perlu." Yang tentu saja langsung mengundang kontroversi :P
*I love doing this*.

Perbedaan sudut pandang berperan di sini. Pengguna jasa apoteker sepertinya nyaris tidak peduli semahal apa biaya yang dikeluarkan untuk mendapat gelar Apt. Pengguna jasa apoteker, baik itu pasien, atasan atau PSA, lebih peduli pada apa nilai tambah yang dapat diberikan oleh apoteker sebagai seorang profesional. Karena itu selama apoteker masih dipersepsi sebagai cost center dan bukan investasi, penghargaan yang baik tentu tak kan mendekati. UU dan PP yang baru disahkan September kemarin sebenarnya membawa harapan, tapi harapan itu akan tak bermakna jika tak ada komitmen. Komitmen memberikan yang terbaik, yang akan menunjukkan pada dunia bahwa apoteker bukan profesi murah-an.

Bagaimana menurut anda?

Beberapa tanggapan : 
"susahnya.. apoteker tu udah dari dulu dihargai dari omset apotek.. yang mana kudu diakui kalo mau omset gede kudu jual barang yang nilai nominalnya gede pula.

aku cuman mikir, yang moga2 ama Tuhan dikasih kepercayaan untuk punya apotek sendiri.. aku ga bakal ambil uang resep atau margin keuntungan 20%-10%. aku hanya akan menambah nominal tertentu (misalnya: 5000 untuk obat keras, 2500 untuk obat bebas) buat semua obat..

nah, dengan begitu bukan omset yang aku kejar.. tapi jumlah pasien yang aku layani......

kira2 bisa balik modal ga ya kayak gitu? hehehe"
(dari Riza Ridho)

sebenarnya murahan or tidak itu tergantung dari pribadi masing2 apt...Apt yg mempunyai bargaining position or nilai tawar tinggi akan dihargai tinggi juga oleh psa.masalahnya banyak sejawat kita yang masih blm punya itu bahkan ga punya kewenangan apapun.jd spt pelayan toko biasa.tapi ada pula sejawat kita yg benar2 ngelola penuh n psa ... percaya sampe k masalah keuangan...dan praktis krn pengelolaan penuh salary nya pun tinggi nah di sini nilai tawar apt di pertaruhkan.nah jd yg murah an siapa nich? (dari Reina M)

7 komentar:

  1. Assalamualaikum. Mas ini apoteker ya? Tulisanya bagus, bisa memotivasi sy untk menjadi lebih baik lg. . . Sbenernya sy jg lg menjalani pendidikan di bidang farmasi, tapi sy masih asisten apoteker, satu tingkat di bawah anda. Salam kenal ya. Anda PNS jg ngga?

    BalasHapus
  2. Waalaikum salam. Betul saya apoteker. Selamat belajar yang baik ya. Saat ini statusnya masih CPNS.

    BalasHapus
  3. Oh gitu ya. . . Gmana sh cara blajar yg baik dan efektif dalam sekolah farmasi tuh mas? Soalnya sy merasa kesulitan dalam memahami pelajarannya, apa lg mata kuliah kimia yg paling sy ga suka. Mohon saranya. . .

    BalasHapus
  4. Cara belajar yang efektif? Salah satunya mungkin adalah mengetahui cara atau gaya belajar pribadi. Dari situ kita bisa tahu cara berfikir kita seperti apa.

    BalasHapus
  5. Sandy baca Pikiran Rakyat selasa kemarin, ada tentang belajar di sekolah farmasi :)

    BalasHapus
  6. Wah baru ketinggalan mas, sy baru buka blognya skarang hehe. Tpi sy salut ama blognya mas fajar, apoteker tapi bisa nulis juga. . . .

    BalasHapus