02 Januari 2010

Keraguan pada Layanan Kesehatan

Dalam dunia pengobatan dikenal istilah plasebo, suatu sediaan tanpa zat aktif obat yang dapat menyembuhkan hanya karena pasien memiliki keyakinan yang kuat. Jika tak ada rasa percaya, akan sulit bagi pasien yang sakit untuk mendapat kesembuhan. Demikianlah, kepercayaan memang memainkan peran penting dalam proses pengobatan. Namun jika melihat ke belakang di tahun 2009 kemarin, terasa keraguan dalam benak masyarakat terhadap institusi pelayanan kesehatan formal. 
 
Kemunculan dukun cilik Ponari pada Januari tahun lalu dengan batu sakti yang dipercaya mampu menyembuhkan berbagai penyakit adalah satu fenomena penting. Pesona “Ponari dan Batu Bertuah” telah menyihir puluhan ribu orang yang bahkan mencari-cari segala hal yang berkaitan dengan Ponari seperti air sumur rumahnya, hingga tempat pembuangan air keluarga Ponari. Perilaku irasional ini menunjukkan kurangnya kepercayaan masyarakat pada pelayanan kesehatan formal serta kecenderungan pada pengobatan alternatif.

Awal Februari 2009, isu puyer mengemuka menjadi polemik di berbagai media. Isu ini mengusik kepercayaan pasien pada bentuk sediaan puyer dan sediaan racikan. Selain itu, kepercayaan masyarakat pada tenaga kesehatan pun ikut terusik. Banyak yang kemudian mempertanyakan profesionalisme kerja tenaga kefarmasian di apotek terkait cara pembuatan puyer yang dianggap tidak higienis. Saldo keraguan masyarakat pada institusi pelayanan kesehatan pun bertambah satu poin.

Beberapa insiden terkait pelayanan kesehatan masih berlanjut hingga kini. Pada tanggal 13 Mei 2009, Prita Mulyasari ditahan di LP Wanita Tangerang Banten karena dituduh melakukan pencemaran nama baik terhadap Rumah Sakit Omni International Tangerang lewat internet. Email seputar keluhannya terhadap rumah sakit tersebut yang dikirim kepada teman-temannya, kemudian menyebar lewat milis. RS Omni International kemudian mengajukan tuntutan hukum pada Prita. Tindakan ini kemudian memicu rasa simpati masyarakat yang mengumpulkan koin sebagai bentuk kepedulian sekaligus protes. Salah satu dampaknya, penurunan pengunjung RS Omni sebanyak 10 persen menunjukkan ketidakpercayaan dari masyarakat. Apakah sentimen ini akan berimbas pada institusi pelayanan kesehatan formal lain? Semoga tidak demikian.

Di milis yang saya ikuti sempat muncul diskusi mengenai pelayanan kesehatan di rumah sakit yang cenderung seadanya jika petugas rumah sakit tidak didesak-desak oleh pasien. Padahal tentu sulit untuk mengharapkan pasien untuk mengadvokasi pelayanan yang baik sementara kondisinya sedang sakit. Maka biasanya kerabat pasienlah yang begitu rupa mengejar-ngejar petugas agar mendapat pelayanan kesehatan yang baik. Sering kita jumpai, keluarga pasien berjejal-jejal menunggui pasien di rumah sakit. Boleh jadi ini menunjukkan bahwa pasien dan keluarganya kurang memiliki kepercayaan bahwa petugas di rumah sakit sebagai institusi pelayanan kesehatan formal akan memberikan pelayanan terbaik untuk pasien.

Bertepatan dengan peringatan Hari Pahlawan kemarin, pemerintah melakukan pengobatan massal penyakit kaki gajah, namun setelah itu, terjadi kematian beberapa penduduk. Tentu sangat disesalkan bagaimana proses pengobatan dapat menjadi insiden kematian. Hasil penyelidikan menyatakan obat aman dan tidak ada human error, namun itu malah menimbulkan pertanyaan apa sesungguhnya penyebab kematian delapan warga tersebut. Salah satu dampak insiden ini, banyak warga yang merasa was-was untuk menjalani pengobatan kaki gajah. Sekali lagi, insiden ini mengusik kepercayaan masyarakat pada institusi pelayanan kesehatan formal.

Mengembalikan Kepercayaan
Beberapa toko roti kelas atas menerapkan kebijakan keterbukaan sehingga konsumen dapat langsung menyaksikan proses pembuatan produknya. Strategi ini memberikan rasa aman dan mengundang kepercayaan konsumen. Konsumen pun akhirnya mendapatkan keyakinan mengenai kualitas produk tersebut.
Bayangkan jika strategi ini diterapkan dalam pembuatan sediaan racikan. Secara psikologis, adanya konsumen yang melihat langsung akan membuat peracik obat lebih teliti dan rapi dalam meracik. Jika memang peracikan obat mengikuti prosedur baku, tidak perlu khawatir jika konsumen ingin menyaksikan langsung proses pembuatan obat racikan. Keterbukaan memang dapat mengundang kepercayaan untuk datang.

Mengembalikan kepercayaan yang hilang tidak akan mudah, tapi bukan tidak mungkin. Untuk itu diperlukan kerjasama semua pihak terkait. Untuk menuju keterbukaan, terlebih dahulu mesti ada standar yang berlaku. Standar yang bersifat terbuka sehingga masyarakat dapat mengetahui apa dan bagaimana pelayanan kesehatan yang selayaknya diperoleh. Dengan demikian, pasien sebagai konsumen jasa pelayanan kesehatan tidak akan merasa membeli kucing dalam karung, selain dapat berguna bagi institusi pelayanan kesehatan untuk membuktikan kualitasnya.

Yang terpenting, jati diri profesi kesehatan harus dikembalikan ke asalnya sebagai suatu profesi yang menjunjung etika dan nilai-nilai yang luhur. Profesi kesehatan selayaknya mengedepankan nurani dan bukan semata mengejar keuntungan dari membisniskan jasa pelayanan kesehatan. Profesi kesehatan semestinya mampu mendengarkan suara hatinya sehingga dapat menunjukkan kejujuran, empati, kepedulian, dan cinta. Bukankah hati hanya akan dapat disentuh dengan hati juga?

2 komentar:

  1. hmmm.. bener banget.. trust itu yang bs ngubah tingkah laku seseorang. kalo hilang trust bakal sulit ada perubahan.

    apotek-apotek skrg bikin pasien trust ga ya??

    eh ya, kmaren ada temen komplain soal pelayanan apotek yang dia kunjungi, smsnya gini: perasaan aku: sejak aku kecil sampai skrg apotek ga berubah, congkak, tidak profesional, birokratis, tidak berorientasi pada konsumen!!!

    so?? kita kudu berubah kayaknya hehee..

    BalasHapus
  2. yah mungkin baru sebagian kecil apotek yang bisa ngasih kepercayaan kaya gitu, jadinya temenmu itu bisa komplain ky gitu.

    BalasHapus