23 Oktober 2010

Apoteker, Anak Tiri di Rumah Sendiri

Beberapa waktu lalu, seorang kawan menghadiri pengambilan gambar untuk sebuah acara promosi kesehatan pada masyarakat. Miris, karena ketika pada segmen yang menjelaskan tentang seluk-beluk obat generik, profesi apoteker tidak disinggung. Memang kemudian muncul pertanyaan, yang dipermasalahkan itu 'pesannya' atau 'pembawa pesannya'? Jika pesan yang disampaikan tepat sasaran, tidak masalah siapa yang menyampaikannya bukan? Sayangnya pada kasus ini menurut kawan saya itu ada konten yang kurang tepat.

Kita lihat contoh kasus lain. Masih di instansi yang sama, yang menyusun sebuah buku promosi kesehatan sekolah. Berikut ini saya kutipkan petikan dari halaman 4. “Petugas kesehatan baik sebagai pegawai negeri, pegawai pemerintah daerah, pegawai BUMN maupun swasta yang menyelenggarakan pelayanan kesehatan, Rumah Sakit, Puskesmas, atau Balkesmas, Poliklinik atau praktek swasta adalah juga sekaligus merupakan petugas Promosi Kesehatan atau Promotor/Pendidik Kesehatan. Dokter, dokter gigi, perawat, bidan, petugas di ruang obat atau apotek dan sebagainya, dalam tugas melayani pasien sehari-hari berkewajiban untuk menyampaikan informasi kepada pasien atau yang dilayani (klien) terkait dengan penyakit atau masalah kesehatan yang dialami oleh klien tersebut. “

Terlihatkah betapa profesi apoteker nyaris tidak dianggap? Di buku tersebut hanya dituliskan 'petugas di ruang obat'. Buat saya ini sebuah tanda tanya besar berwarna hijau. Ini terjadi di rumah sendiri, apalagi di luar. Mari kita lihat sudut pandang orang luar.

Merasa ada yang aneh?

Saya pernah membaca sebuah artikel yang ditulis oleh seorang anggota Komisi IX DPR dari fraksi PKS, Zuber Safawi, SHI (dari gelarnya sih nampaknya bukan orang kesehatan) yang berjudul “Mencari Solusi Problem Tenaga Kesehatan”. Artikel ini membahas tentang tenaga kesehatan tapi tak satu pun menyebut kata ‘apoteker’ atau ‘farmasis’. Saya jadi agak sedikit malu untuk mengaku sebagai tenaga kesehatan.

Di simpang jalan ini, apoteker memang nyaris tak terdengar eksistensinya. Sayangnya justru kadang-kadang pengerdilan peran itu muncul dari profesi farmasis sendiri. Saat ini dengan kehadiran PP 51, ranah farmasi komunitas tengah berbenah. Memang selama ini mesti dipertanyakan, apoteker di apotek, raja atau bukan? Sebagian apoteker menyalahkan kondisi ini pada PSA, yang senantiasa dituduh berorientasi laba semata. Mungkin jika mengerti kondisi PSA, apoteker bisa melihat mengapa penawaran (atau mungkin perdebatan) gaji sulit beranjak dari angka satu koma sekian. Apotek adalah sebuah entitas bisnis, jadi perhitungan biaya dan keuntungan menjadi mutlak dan wajar di sini. Di tengah rimba apotek yang bermunculan di mana-mana, omset apotek menjadi semakin bersaing, dan ini akan mempengaruhi remunerasi apoteker.

Apoteker memang sedang berada di simpang jalan, sedang berbenah dan mengatur langkah. Namun idealisme memang harus berakar pada realitas. Jika tidak dikonsep matang dan integral, bukan tidak mungkin langkah-langkah perbaikan itu malah mengarah pada kondisi yang lebih buruk. Semoga tidak demikian.

Ah sudahlah, tak ada gunanya menyesali diri. Tulisan ini bukan untuk menyesali kondisi, bukan pula untuk mencaci. Tapi untuk menempatkan semuanya pada tempat yang selayaknya. Menyuarakan pandangan dari mereka yang tak kunjung bersuara.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar