23 Oktober 2010

Cita Penduduk Negeri Sejahtera (CPNS)

"Kalau mau kaya, jangan bekerja di instansi pemerintahan, tapi jadi entrepreneur saja. Saya sudah mendesain gaji PNS itu standarnya cukup dan tidak berlebih-lebihan. Asal bisa makan, ada biaya transportasi, cukup membiayai pendidikan anak, itu saja." (Sri Mulyani)
Mungkin apa yang dikatakan Sri juga menjadi pemikiran bapak itu, yang suatu hari saya layani. Umurnya separuh baya. Pernah jadi pegawai negeri, tetapi lalu pensiun dini. Berlatar belakang pendidikan apoteker, mantan kepala instalasi farmasi di sebuah rumah sakit pemerintah. Saat ini menjadi pengusaha, memroduksi berbagai perbekalan kesehatan rumah tangga. Dan sedang mengembangkan sayap-sayap usaha lainnya.

Tindak-tanduknya berbeda dengan tipikal pelaku bisnis pada umumnya. Ketika berada di loket pendaftaran mengurus perizinan itu, ia mendengarkan dengan tekun semua penjelasan yang diberikan. Ritme dunia usaha yang berputar cepat cenderung menyeret pelakunya mengadopsi sifat serba segera yang pada beberapa kasus mengarah pada kecenderungan menabrak peraturan atau 'mencari celah'. Tapi beliau berbeda, taat azas. Ketika ada tembok menghalangi tujuannya, beliau tidak mendobrak, tapi mencoba bernegosiasi serta berkonsultasi. Mungkin memang pengalaman di lingkungan birokrasi telah meresapi jiwanya. Celupan yang mewarnai kepribadiannya meskipun ia telah lama berbelok di persimpangan kehidupan.

Pilihan-pilihan yang diambil dalam hidup memang tak mesti sama dengan yang orang lain pilih. Setiap orang memiliki prioritas apa yang penting, apa yang berharga dan apa yang tak terlalu bermakna. Pada akhirnya kita harus memilih, yang terbaik untuk (menemani) hidup.

Sempat ada masanya ketika jalan hidup terasa terus meredup. Ketika pertanyaannya bukan 'makan dengan apa?' melainkan 'makan tidak hari ini?'. Ketika malam tiba, harus puas beralas kursi duduk dan berselimut dengungan nyamuk.

Usaha bukannya tak dikerahkan hingga tenaga, pikiran dan segala sumber daya habis, tapi tetap saja hasilnya tragis. Maka itulah saatnya menentukan arah di persimpangan. Berbelok mengambil alternatif jalan atau menginjak pedal gas melupakan kata 'pelan-pelan'.

Waktu itu sedang mencari alasan untuk melompat lebih tinggi. Karena secara finansial agak sulit untuk mengandalkan yang ini, namun terasa sayang untuk benar-benar meninggalkan. Mungkin benar apa yang mereka katakan, sekali tercelup di dunia pendidikan, kau akan selalu merindukan. Maka diperlukan pijakan lain sebagai tempat tujuan melompat. Harus sesuatu yang 'besar'. Untuk menaruh segenap pertaruhan penting yang akan mengubah segalanya.

"Jangan Menyerah". Kalau tak keliru mendengar lagu ini tepat tahun lalu. Ketika merasa benar-benar lelah berusaha mencapai. Lalu muncullah pengumuman penerimaan itu. Persyaratan yang diminta tak banyak untuk diurus. Sederhana, cocok dengan keinginan saya yang memang tak mau ribet. Tesnya pun cuma sekali, tes tertulis saja. Suatu malam, entah kenapa seorang kerabat menelepon saya. Ya sudah, kenapa tidak dicoba. Toh, sudah ada contoh sebelumnya.

Yang tak terduga itu datang memang. Lalu merombak banyak dari rencana hidup yang saat itu sedang pada titik yang mendaki lagi sukar. Nyatanya hingga beberapa bulan ini, belum benar-benar bisa merasa bahwa ini benar-benar nyata adanya.

Setelah kepastian keputusan itu tiba pun semua tak lantas baik-baik saja. Karena ternyata tahapan selanjutnya entah kapan dilanjutkan. Harus menunggu kapan panggilan itu datang. Sampai nyaris bosan menjawab pertanyaan yang sama "kapan mulai kerja?".Orang tua pun mau tak mau terpengaruh juga waktu itu. Mungkin gemas melihat saya leyeh-leyeh internetan sepanjang hari, entah berapa kali menyarankan agar saya mengontak ke Jakarta.

Jadwal saya di sekolah pun harus berubah. Seminggu setelah pengumuman, saya menghadap pemimpin tertinggi, mengutarakan keinginan mengubah jadwal kedatangan. (Btw, enaknya jadi guru itu bisa mengatur hari dan jam kerja.) Beliau tampak kaget sedikit, karena memang, belum banyak yang saya beritahu. Namun kemudian dua orang murid menanyakan hal itu. Dan kemudian sekelas pun tahu. Bertanya macam-macam, termasuk gajinya berapa. Untuk yang satu itu saya tak menjawab kecuali dengan senyum tipis. Rasanya terlalu antiklimaks jika euforia itu ditubrukkan dengan nominal gaji yang menurut Direktur World Bank sudah mencukupi.

Hingga tiba pemberkasan dan berbulan kemudian SMS itu datang, meminta kami untuk hadir di suatu siang.

Hanya jika Ia yang menuliskan skenarionya.
Sehingga bertemu kembali dengan 'mantan saingan' sewaktu wawancara kerja di sebuah penerbit buku. Bahkan masih ingat apa yang ia kenakan waktu itu.
Sehingga bertemu kembali dengan salah satu orang terakhir selain keluarga yang bertemu sebelum meninggalkan negeri ini.
Sehingga bertemu seseorang yang saya pernah ngasih komentar di tulisannya di sebuah blog.
Setelah sampai di sinilah baru tahu bahwa ternyata salah satu eselon satu adalah teman sekolah ayah dahulu.

Terkadang memang yang dianugerahkan-Nya jauh lebih dari semua doa pinta yang kita panjatkan berulang-ulang.

Pernahkah anda membayangkan bagaimana rasanya apabila nama anda tercantum di buku yang akan digunakan oleh seluruh mahasiswa farmasi di seluruh Indonesia Raya?

Terlepas dari semua lebih kurang dan suka duka di berbagai bagian unit kerja, ditempatkan di tempat saya sekarang ternyata membawa banyak pengalaman. Hanya disini dapat lebih cepat mengenal bermacam-macam teknologi kesehatan terbaru. Terasa pula bagaimana liku-liku menghadapi bermacam karakter orang di pelayanan publik (topik ini sepertinya dapat dibuat catatan tersendiri).

Selain itu menyadari bahwa ternyata jadi pengusaha itu susah, mesti mengerahkan segenap peluh dan mungkin darah. Dan seperti kata seorang teman, hanya anak muda sinting yang mau menapaki jalan ini. Yah memang darah itu merah, Direktur Jenderal.

Ke gedung delapan lantai ini, pada mulanya datang dengan tujuan pribadi. Lalu setelah menjalani menjadi pelayan. Sedikit banyak melihat dan merasakan sendiri harapan yang tersimpan. Sedikit tergerak benih-benih kesadaran bahwa sudah selayaknya mengabdi untuk negeri, bukan untuk diri sendiri (saja).

Mungkin memang di tempat ini ada dua tipe orang. Tipe yang mikirin diri sendiri sama tipe yang (juga) mikirin negara. Menjadi abdi negara berarti haruslah bersiap-siap untuk dipuji dan dicaci, disanjung dan ditelikung, dilayani dan melayani.

Semoga bisa tergolong menjadi tipe kedua. Satu hal yang jelas, berjuang sendirian nampaknya dapat menjadi sungguh sangat melelahkan. Seperti melelahkannya bertahan dengan satu koma sekian.

Jadi maukah kamu berjalan bersama-samaku? Bersama-sama kita, bekerja untuk Indonesia

*didengerin bareng Hero-nya Mariah Kerey enak juga.

1 komentar:

  1. sebuah map ....

    di mulai dari sebaris kalimat berisi pemohonan...

    BalasHapus