10 Oktober 2010

Pertemuan 1 Sen

Ya sudah, nanti kamu hubungi saya lagi…" kata dosen pembimbing skripsi yang sibuknya minta ampun, eh beberapa saat kemudian ketika dihubungi, entah HPnya mati atau jaringannya error. D'oh.

"Saya ada rapat jam 2, kamu ke sana saja, saya tidak tahu jam berapa kita bisa ketemu" kata dosen yang sama dengan kisah di atas. Ketika sampai di lokasi yang dijanjikan, whew rapatnya lama kali pun, baru bertemu sore menjelang malam, padahal sudah menunggu sejak siang.

Perjalanan menemui beliau selalu penuh inspirasi. Terbentang dari Jatinangor ke Bandung, melintasi dua kabupaten, menumpang bonceng motor seorang kawan seperjuangan. Dan belum tentu ketemu setelah menempuh perjalanan sejauh itu, padahal kami tahu beliau hanya di Bandung di akhir minggu.

Kala itu, kami adalah mahasiswa penggarap skripsi yang kehilangan arah.
""Kita mau bimbingan apaan?" ujar kawan saya itu.
"Yang penting ketemu aja dulu" sahut saya asal.
Tapi memang setiap bertemu beliau, selalu ada semangat membanjiri. Maklum, berkutat di depan komputer untuk orang yang empat tahun bercengkerama dengan laboratorium rasanya gimanaa gitu. Memang aneh, mahasiswa farmasi kok penelitiannya depan komputer, padahal membedakan memori sama hard disk saja masih tertukar.

Lain pembimbing, lain cerita. Ada dosen yang sangat sibuk sehingga ketika harinya presentasi, beliau belum datang, panik tentu saja, namun bersyukur sudah ada SMS, dikirimlah semacam pengingat, namun o la la ternyata salah kirim pada salah seorang teman perempuan. *facepalm.

Selain skripsi, ada juga di program profesi, bimbingan mendekati deadline ketika masih saja ada revisian padahal sidang sudah ada di hadapan. Itu revisi terakhir, saya tahu, tapi dengan waktu yang semakin sempit ini, kapan belajar buat sidangnya ? :(
Seorang kawan seperjuangan menatap saya, saya tahu itu tatapan simpati, bukan tatapan mentari meskipun sinar matanya serupa mentari *mulai ngaco. Saya lalu hanya membalasnya dengan senyuman tipis berusaha (sok-sokan) tegar menguatkan.

Beberapa kali ke rumah pembimbing tersebut, rumahnya unik, seperti terselip di antara tetumbuhan. Dan setiap kali ke sana selalu dengan rangkaian doa semoga tanda tangan beliau segera mengisi lembar pengesahan. Tapi tangan beliau masih saja mencoret di sana-sini. Tapi dengan itu, beliau mengajari saya tentang ketelitian.

Ada juga yang, bukannya membahas isi laporan, tapi memberi nasehat petuah kehidupan. Ada lagi sebenarnya, kisah-kisah yang tersimpan seputar menjalani masa bimbingan, baik itu skripsi, KP dan sebagainya, tapi rasanya tak semua bisa dipublikasikan.

Tapi pada dasarnya, semua pengalaman itu, semua wejangan itu, semua omelan itu, pada akhirnya menjadi kenangan manis dan pelajaran berharga, bukan begitu? Jadi rasanya biaya bolak-balik Bandung-Jatinangor, atau Karawang-Jakarta tak terlalu berlebihan untuk secuplik kisah perjuangan bukan?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar